Ngopi Sore
Tetaplah Kurus Pak Jokowi, Merdeka !
Perkara tulus tidaknya doa tentu tak dapat digugat lantaran hal ini memang tak dapat dinilai. Tulus atau tidak penentunya Tuhan.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
UPACARA peringatan hari kemerdekaan di Istana Negara berkesudahan tanpa diikuti kehebohan. Apa boleh buat. Memang tak ada celah yang berpotensi untuk dicecar cibir. Pak Jokowi memimpin upacara dengan gestur layaknya seorang presiden. Pak JK menghormat bendera. Pak SBY datang dan berfoto bersama Ibu Megawati.
Dengan demikian aman damailah Indonesia? Semestinya begitu. Namun kenyataannya tidak. Kenyinyiran, ternyata, tetap melesat-lesat. Kenyinyiran, yang ironisnya, berkutat dari perkara itu ke itu saja. Kenyinyiran yang berulang dari tahun ke tahun. Mulai dari soal remeh temeh perlombaan tujuhbelasan sampai makna dan arti merdeka.
Saya sepakat bahwa dari sisi faedah, perlombaan-perlombaan yang digelar pada tiap Agustus tanggal 17, tidaklah besar. Namanya juga pesta, poin terpentingnya adalah kemeriahan, yang diharapkan mendatangkan keceriaan, syukur-syukur kebahagiaan. Pun sekiranya hendak dipaksa untuk menjadi besar dan penting, jatuh-jatuhnya adalah semangat persatuan dan kesatuan, juga keberagaman. Bahwa segenap kemeriahan ini mempersatukan kita sebagai bangsa dan negara bernama Indonesia.
Maka nikmati sajalah pestanya. Singkirkan sejenak garis-garis rengut dan cemberut dari wajah. Tak perlu merasa jadi inlander.
Atau, jangan-jangan memang begitu? Jangan-jangan Anda masih merasa jadi inlander dan belum merdeka?
Terus-terang bagi saya ini lucu sekali. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan 72 tahun lalu, namun masih juga ada yang merasa diri inlander. Merasa terjajah. Padahal jika ditelaah lebih jauh, mereka yang merasa diri inlander dan belum merdeka ini justru sangat merdeka.
Mereka bebas berpendapat, bebas berekspresi, bebas memilih dan menegakkan ideologi, bahkan bebas berinvestasi. Sebagian mereka bahkan kerap memamerkan kehedonisan dan keborjuisan. Parade barang-barang bermerek internasional, mobil yang tak cukup satu, tiket pelesiran dan foto-foto yang dipamerkan di halaman-halaman media sosial. Apakah Anda berpikir Anda bisa ongkang-ongkang duduk minum kopi di kafe jika kompeni masih di sini?
Tentu saja, di banyak bidang, hidup di negeri ini belum nyaman-nyaman amat. Bahkan bisa dibilang melata apabila pembandingnya adalah Singapura, Uni Emirat Arab, atau Qatar. Listrik masih sering mati, air bersih masih sering ngadat, garam dan minyak hilang-hilang timbul, harga bahan pokok bisa melejit tak karu-karuan.
Akan tetapi, sekali lagi, ini semua bukan berarti kita belum merdeka, bukan? Merdeka dan nyaman, saya kira, adalah dua perkara berbeda. Nyaman dicapai lewat proses dan tanpa kemerdekaan proses ini tak akan bisa dijalankan.
Sampai di sini muncul pertanyaan. Kenapa sampai 72 tahun hidup di Indonesia tak nyaman-nyaman juga? Persisnya, kenapa tak merata? Kenapa ada yang bisa menjalani gaya hidup hedonis dan borjuis dan kenapa ada yang bahkan untuk sekadar bisa makan saja pun harus jungkir balik?
Persoalannya terletak pada sumbu-sumbu kekuasaan. Para penentu arah kebijakan negara yang tak pernah bersepakat dan satu suara dalam berproses. Lebih sering bentrok dan saling mengintai peluang untuk menjatuhkan. Energi dihabiskan untuk meributkan hal-hal yang sama sekali tak produktif, sembari di saat bersamaan, mencuri kesempatan untuk memperkaya diri.
Jokowi bukan pemimpin yang sempurna. Ada salahnya, ada banyak kekurangannya. Akan tetapi, secara rutin dan nyaris konstan, pagi, siang, dan malam, menggembosi dan merecokinya hanya karena perbedaan kubu dan cara pandang politik, adalah perbuatan yang sungguh konyol.
Apakah memang bagi mereka tidak ada kebaikan pada diri Jokowi sehingga harus membencinya sedemikian rupa? Di media sosial, terutama Facebook dan Twitter, banyak yang melaknatnya, bahkan berdoa meminta Tuhan menjatuhkan azab. Terlepas dari fakta bahwa di Facebook maupun Twitter tidak ada akun Tuhan, doa semacam ini jelas-jelas menunjukkan betapa kebencian memang berbanding lurus dengan kedunguan.
Lalu, di antara segala kesemrawutan doa-doa yang serba seram dan mencekam itu, menyempil doa dari Tifatul Sembiring, politisi PKS yang pernah menjadi menteri. Tifatul meminta pada Tuhan untuk menambah bobot badan Jokowi. Menurut dia, Jokowi terlalu lelah dan kurang istirahat.
"Gemukkanlah badan beliau, Ya Allah, karena kini terlihat semakin kurus, padahal tekad beliau dalam membangun bangsa dan negara ini tetap membaja untuk maju terus agar menjadi bangsa yang adil makmur dan sejahtera," kata Tifatul dalam doanya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/jokowi-kemerdekaan_20170817_170541.jpg)