Ngopi Sore
Mari Tertawa Bersama SNSD
Selain kekeliruan kabar, kelucuan juga dipicu oleh kekeliruan mengidentifikasi SNSD itu sendiri.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SNSD akan datang ke Indonesia dan belum-belum rencana ini sudah melesatkan tawa. Padahal mereka girl band, dari Korea Selatan pula, bukan pelawak dan tak pernah dikabarkan terkaitpaut dengan hal-hal yang berhubungan dengan komedi.
Mereka bersembilan dan dikenal juga dengan nama lain yang tak kalah populer, Girl's Generation, adalah perempuan-perempuan bening bohai dan serius meniti karier sebagai penari yang menyanyi.
Iya, pendapat saya tentang sebagian besar girl band (juga boy band) Korea Selatan belum bergeser. Bagi saya, mereka adalah penari yang menyanyi, bukan penyanyi yang menari.
Anda sulit membedakan mana penari yang menyanyi dan mana penyanyi yang menari?
Baik, mari kita runut pelan-pelan. Anda tahu Usher? Tahu Beyonce dan Bruno Mars? Atau tahu mendiang Michael Jackson? Kira-kira seperti merekalah penyanyi yang menari.
Sebagai penyanyi, modal utama mereka adalah suara. Gerak tari, secanggih dan sekeren apa pun, hanya pendukung. Kecuali barangkali untuk Michael Jackson yang berhasil membuat gerak tari Moon Walker mendapatkan tempat tersendiri dalam sejarah dunia.
Sampai di sini, Anda sudah bisa memahami bedanya? Jika belum, tontonlah video-video girl band dan boy band Korea Selatan. Lihatlah bagaimana ciamiknya gerak-gerak tarian mereka. Namun lihatlah pula betapa kadang-kadang mereka lupa membuka mulut saat menyanyi.
Tentu, tidak semuanya demikian. Ada juga beberapa girl band dan boy band yang satu dua anggotanya memiliki kemampuan vokal mumpuni. Namun, memang, dibandingkan kemampuan bernyanyi, kemampuan olah vokal, secara umum kemampuan lip sync memegang peranan yang lebih besar.
Lalu, apa hubungannya dengan tawa? Tak kurang tak lebih karena suara-suara sumbang yang mengiringi kabar kedatangan mereka. Pertama, kekeliruan kabar bahwa SNSD akan tampil dalam gelar perayaan 17 Agustusan yang diselenggarakan pemerintah.
Kabar ini segera digempur sekian rangkai perisakan. Terutama tentu saja yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mulai dari perisakan ringan yang masih bertendensi humor hingga yang serius nyelekit dan menyiratkan kemarahan.
Perisakan pelan-pelan surut setelah mengemuka klarifikasi, bahwa SNSD diundang bukan untuk tampil pada gelar perayaan 17 Agustusan, melainkan acara hitung mundur (countdown) satu tahun Asian Games 2018.
Selain kekeliruan kabar, kelucuan juga dipicu oleh kekeliruan mengidentifikasi SNSD itu sendiri. Sejumlah warganet, lewat Twitter dan juga Facebook, secara lantang menolak kehadiran SNSD. Mereka mengatasnamakan moralitas.
Seorang di antara penolak ini, seorang perempuan yang konon berprofesi psikolog (dan "punya nama"), menyebut SNSD kerap tampil tak senonoh dan dekat dengan pelacuran.
SNSD menurut dia adalah juga simbol seks. Untuk penguat argumentasinya, penolak ini menampilkan foto yang disebutnya sebagai foto SNSD (berikut tautan berita), dan ternyata, keliru.
Iya, benar. Dia keliru. Sebab foto yang ditampilkannya adalah foto girl band yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan SNSD. Dia menampilkan foto Lee Chae-rin alias CL, mantan personel girls band 2NE1, grup yang sudah bubar setahun lalu.
Kesalahan ini tak ayal menjadi pukulan balik baginya. Akun Twitter miliknya diserbu oleh akun- akun lain yang mencoba meluruskan kekeliruan tersebut. Upaya pelurusan ini tentu saja tidak semuanya dilakukan dengan cara santun, atau bertendensi humor, misalnya yang coba membanding-bandingkan antara "keseksian" aksi panggung girl band Korea Selatan dengan pedangdut-pedangdut Pantura. Banyak juga yang merisak. Menyebutnya asal cuap.
Kisruh SNSD memang tak berlanjut. Para penolak menyingkir dari panggung. Akan tetapi, dari sini menguat satu kecenderungan yang semestinya patut untuk disikapi prihatin. Kenapa kekeliruan-kekeliruan pemahaman akibat kesimpulan yang terburu-buru seperti ini makin sering terjadi? Kenapa makin banyak di antara kita yang makin tak sabaran dan ngamukan?
Apa sebab? Apakah lantaran tekanan hidup yang makin kuat? Apakah lantaran kita semua makin miskin dan terancam mati karena miskin?
Saya tidak tahu. Barangkali benar begitu. Sebab mengukur kemiskinan, tentunya tak bisa dengan menjadikan tetap ramainya orang yang nongkrong di Starbuck dan panjangnya antrean untuk membeli mobil baru sebagai tolok ukur, bukan?(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/snsd_20170801_193245.jpg)