Ngopi Sore

Andai Chester Bennington Jadi Anggota DPR

Dari penelitian dilakukan Center for Suicide Research, disebut bahwa potensi bunuh diri berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan dan kreativitas.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/PATRICIA DE MELO MOREIRA
CHESTER Bennington bernyanyi saat tampil dalam konser The Rock in Rio Lisboa Music Festival bersama Linkin Park di Lisbon, Portugal, 26 Mei 2012. 

SAYA tidak pernah terlalu menyukai Linkin Park dan karenanya tak pernah memainkan atau hafal secara utuh satu pun lagu mereka, dan oleh sebab itu, barangkali, kabar kematian Chester Bennington tak membuat saya tertohok.

Kontras misalnya jika dibandingkan ketika tahu Kurt Cobain menemui ajal.

Cobain menembak kepalanya, dan Bennington, konon, menjerat lehernya. Persis apa yang dilakukan sohib kentalnya, Chris Cornell, dua bulan lalu. Ketiganya bunuh diri karena mengalami depresi.

Tentu akan jadi panjang ceritanya apabila penyebab-penyebab depresi ini dipapar satu per satu. Belum lagi jika dilakukan telaah tentang, misalnya, kenapa penyebab-penyebab depresi tersebut bisa muncul pada orang-orang seperti Kurt Cobain dan Chester Bennington.

Nirvana sedang di puncak kejayaan. Linkin Park, meski tak lagi berada di masa keemasan, masih lumayan laku di pasaran. Berbanding terbalik dari Cornell yang memang terpuruk. Soundgarden bubar. Audioslaves juga tidak pernah benar-benar meroket.

kurt
ILUSTRASI posisi jenazah Kurt Cobain dalam film semi dokumenter Soaked in Bleach (ROCKNYCLIVEANDRECORDED.COM)

Ada banyak faktor. Saya ambil satu saja. Dari hasil penelitian yang dilakukan Center for Suicide Research, disebut bahwa potensi bunuh diri berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan dan kreativitas, yang mengerucut pada satu titik, yakni kesempurnaan. Perfeksionisme!

Maka alih-alih larut dalam kesedihan atau sok-sokan ikut mengulik kemungkinan-kemungkinan kenapa Benington nekat menjerat lehernya, saya lebih tertarik pada pengandai-andaian yang dikemukakan seorang kawan.

Pengandaian iseng saja, sebenarnya. Bilang kawan itu, jika Chester Bennington bukan vokalis Linkin Park dan dia warga negara Indonesia dan bekerja sebagai wakil rakyat, niscaya dia akan lebih cepat melakukan bunuh diri.

Tentu saja awalnya saya tertawa-tawa. Namun dari menit ke menit, saya sadar, pengandaian yang iseng ini ada benarnya. Sebagai seorang yang cerdas, penuh kreativitas dan selalu ingin sampai pada hasil yang sempurna, Bennington akan mudah mengalami depresi.

Bagaimana tidak. Di era terkini di negeri kita yang terkasih, objek perisakan sejati hanya ada dua: Young Lex dan Anggota DPR. Yang disebut sebagai objek perisakan sejati adalah mereka yang atas apapun yang diperbuat dan dialami tetap saja dirisak.

Jokowi dan Prabowo dan Ahok dan Habib Rizieq Shihab kerap mengalami perisakan secara nasional. Namun pembela mereka tak kalah banyak. Pembela-pembela yang serba fanatik lagi militan. Pula demikian Fahri Hamzah dan Fadli Zon dan Felix Siaw, atau --katakanlah-- Tere Liye dan Ayu Ting Ting.

Polisi sering dirisak. Polisi punya pembela. FPI sering dirisak. FPI punya pembela. Jonru sering dirisak. Jonru punya pembela. Ribuan jumlahnya. Bahkan HTI yang selama bertahun-tahun berteriak anti demokrasi dan anti Pancasila, tiba-tiba bisa punya banyak sekali pembela.

Tidak demikian Young Lex dan Anggota DPR. Young Lex, rapper kemarin sore yang bergaya bak superstar hiphop kelas dunia, itu dirisak secara nasional dan yang bisa dilakukan hanyalah membela dirinya sendiri. Kadangkala dengan cara yang ampun-ampunan menggelikan. Anggota DPR juga demikian. Dari tingkat daerah sampai pusat.

Kenapa tidak ada yang membela? Sebenarnya ada, namun jumlahnya jauh lebih sedikit, dan makin lama makin sedikit, tenggelam oleh gelombang perisakan yang justru terus membesar.

Ratusan anggota DPR dari empat fraksi yakni F- Gerindra, F-PAN, F-PKS dan F-Demokrat meninggalkan ruang sidang sebelum pengesahan RUU Pemilu pada sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7/2017) dini hari. DPR mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang setelah melalui mekanisme dan memilih opsi A, yaitu Presidential Threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Ratusan anggota DPR dari empat fraksi yakni F- Gerindra, F-PAN, F-PKS dan F-Demokrat meninggalkan ruang sidang sebelum pengesahan RUU Pemilu pada sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7/2017) dini hari. DPR mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang setelah melalui mekanisme dan memilih opsi A, yaitu Presidential Threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional. (ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA)

Tentu saja tidak semua anggota DPR kita sontoloyo. Ada di antara mereka yang benar-benar menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat. Benar-benar berpikir dan bekerja untuk rakyat. Akan tetapi, sebagaimana para pembelanya, jumlah mereka sedikit, dan terus menyusut, tenggelam oleh anggota-anggota DPR yang makin ke sini makin banyak dan makin sontoloyo.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved