Breaking News

Ngopi Sore

Jokowi dan Politisi-politisi Berjiwa Kosong dan Kering Itu

Makin ke sini politisi-politisi model Sengkuni dan Brutus makin banyak dan makin berterus-terang menunjukkan jati diri.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
PRESIDEN Joko Widodo 

ENTAH lantaran sudah kelewat dongkol dan kesal, saat berpidato pada pembukaan acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, di Jakarta, kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut politik yang selalu gonjang-ganjing menjadi satu di antara faktor utama yang menghambat kemajuan Indonesia. Dan biang kerok kegonjang- ganjingan ini tiada lain adalah para politisi.

Jokowi bilang, panggung politik Indonesia terlalu didominasi oleh politisi-politisi berjiwa kosong dan kering.

Saya kira ini kesadaran yang datang sangat terlambat. Sembilan belas tahun lalu, WS Rendra telah mendefenisikan politisi dalam sajaknya, Politisi Itu Adalah.

Para politisi berpakaian rapi.
Mereka turun dari mobil
langsung tersenyum
atau melambaikan tangan.
Di muka kamera televisi
mereka mengatakan
bahwa pada umumnya keadaan baik,
kecuali adanya unsur-unsur gelap
yang direkayasa oleh lawan mereka.

Meski Pak Jokowi barangkali tidak membaca Sang Kawindra, seyogianya beliau paham betapa sejak lama panggung politik Indonesia tidak pernah bersih dari politisi berjiwa seperti ini. Bahkan jauh sebelum 1998.

Selalu ada Sengkuni. Selalu ada Brutus.

Namun Jokowi tak sepenuhnya salah juga. Sebab, memang, makin ke sini politisi-politisi model Sengkuni dan Brutus makin banyak dan makin berterus-terang menunjukkan jati diri.

Mereka tak lagi punya rasa segan, tak lagi sembunyi-sembunyi, saat melakukan pemutarbalikan dan penjungkirbalikan fakta. Labrak sana labrak sini tak peduli atas ini mereka akan kelihatan dungu. Terpenting bagaimana tujuan politik tercapai.

ANGGOTA DPR RI saat mengikuti sidang paripurna di gedung DPR RI, beberapa waktu lalu.
ANGGOTA DPR RI saat mengikuti sidang paripurna di gedung DPR RI, beberapa waktu lalu. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Ribut-ribut soal Perppu Ormas dan kasus korupsi e-KTP jadi contoh anyar. Lihatlah bagaimana mendadak banyak politisi pasang badan membela Hitzbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Setya Novanto.

Padahal, jika mau sedikit melapangkan hati, mereka semua pasti tahu dan paham duduk perkara yang sebenarnya. Mereka tahu benar apa dan siapa HTI. Mereka tahu paham sekali sepak terjang Setya Novanto.

Perkara yang sederhana belaka, sebenarnya. Perkara yang --boleh dikata-- sudah jadi pengetahuan umum. HTI sejak mulai ada di Indonesia terang-terangan memposisikan diri tidak sejalan dengan pancasila. Mereka menentang demokrasi. Mereka turun ke jalan meneriakkan ide khilafah untuk menggantikan sistem bernegara yang telah digariskan undang-undang.

Setya Novanto? Ah, politisi ini kerap bermasalah dan masalahnya tidak pernah jauh dari dugaan korupsi. Walau beliau selalu lolos, keterjeratannya sekarang seharusnya tak perlu diherankan. Seperti pepatah orang-orang tua kita dulu yang tidak bergelar doktor atau profesor, sepandai-pandai Novanto, eh, tupai, melompat, sekali waktu jatuh juga.

Jadi sekali lagi, perkaranya sederhana. Sayangnya, politisi-politisi ini memang tidak ingin mengakui kebenaran. Mereka lebih suka bersulit-sulit dan berumit-rumit, agar memunculkan kebingungan sehingga mana yang benar dan mana yang salah jadi hal yang bersifat nisbi.

Dan di saat itu terjadi, mereka akan leluasa meloloskan kepentingannya. Seperti kata Rendra.

"Kuman di seberang lautan tampak.
Gajah di pelupuk mata tak tampak."
Itu kata rakyat jelata.
Tapi para politisi berkata:
"Kuman di seberang lautan harus tampak,
sebab kita harus selalu waspada.
Gajah di pelupuk mata ditembak saja,
sebab ia mengganggu pemandangan."

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved