Ngopi Sore

Pembubaran Hizb ut-Tahrir, Pemenjaraan Ahok, Apakah Jokowi Sedang Main Catur?

Jokowi barangkali sedang melakukan pengorbanan lebih besar. Langkah catur yang rumit karena Ahok bukan sekadar bidak.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
AFP PHOTO/ANTHONY WALLACE
PRESIDEN Joko Widodo 

DUA peristiwa ini terjadi dalam kurun waktu tidak sampai 24 jam. Pemerintah berencana membubarkan Hizb ut-Tahrir --kebanyakan media di Indonesia menuliskannya sebagai 'Hitzbut Tahrir'. Ditengarai menolak demokrasi dan dengan demikian (dalam asumsi pemerintah) menolak Pancasila dan UUD 1945, Hizb ut-Tahrir (Hizbut Tahrir) Indonesia atau HTI, diusulkan untuk dibubarkan lewat proses pengadilan.

Tak berselang lama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur Jakarta, divonis dua tahun penjara. Dia diputuskan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama lewat ucapannya terkait Surah Al Maidah Ayat 51 saat berbicara dengan kelompok warga nelayan di kawasan Kepulauan Seribu, tahun lalu.

Kedua peristiwa ini disambut dengan sama gegap-gempita. Rencana pembubaran HTI, saya kira, membuat pendukung organisasi massa yang didirikan di Jordania ini bertambah beberapa kali lipat. Tentu, bukan mendukung dalam pemahaman menjadi anggota. Sama sekali tidak. Umumnya mereka adalah orang-orang yang melontarkan pendapat yang sama: pemerintahan Jokowi semakin menunjukkan wajah sebagai pemerintahan yang otoriter dan anti Islam.

Benarkah demikian? Pertama-tama harus digarisbawahi bahwa pendapat yang dilontar dengan tendensi kemarahan yang teramat aduhai ini rata-rata berangkat dari kesalahpahaman dalam menanggapi berita. Terutama sekali dalam hal kata 'akan', yang dalam pemberitaan awal media-media dalam jaringan (media online) memang tidak disebut.

Sebagian besar media ini, yang bekerja dengan sistem adu cepat bukan adu akurat, tak menyertakan kata 'akan'. Kata ini, yang membuat makna 'pembubaran' berubah dari 'telah dilakukan' menjadi 'belum dan bakal segera  dilakukan', baru muncul pada pemberitaan kedua.

MENKOPOLHUKAM Wiranto (tengah), saat mengumumkan rencana pemerintah membubarkan HTI di Jakarta, Senin (8/5/2017).
MENKOPOLHUKAM Wiranto (tengah), saat mengumumkan rencana pemerintah membubarkan HTI di Jakarta, Senin (8/5/2017). (ANTARA FOTO/ROSA PANGGABEAN)

Celakanya, pemberitaan pertama sudah terlanjur menyebar dan terlanjur pula meletupkan amarah. Dan dalam kondisi seperti ini, agaknya, orang-orang yang marah itu, tak lagi peduli pada perbaikan yang dilakukan di pemberitaan-pemberitaan berikutnya.

Terlepas dari ada tidaknya kata 'akan', pantaskah pembubaran dilakukan? Saya tak hendak menyatakan pantas tak pantas. Namun saya bisa memberikan gambaran berdasarkan pandangan pribadi.

Saat masih sering keluyuran memburu berita di lapangan, dan memotret, kurang lebih 12 tahun lalu, saya berkali-kali bersinggungan dengan HTI. Saya pernah meliput aktivitas dakwah mereka. Saya juga pernah --dan ini terbilang lebih sering-- memotret aksi-aksi unjuk rasa mereka.

Aksi unjuk rasa HTI berbeda dari kebanyakan aksi unjuk rasa lain di Indonesia. Jangan bandingkan dengan aksi unjuk rasa pedagang pasar, sopir-sopir angkutan umum, buruh, mahasiswa atau aktivis LSM yang serba bergejolak. Unjuk rasa HTI selalu damai. Nyaris tidak ada kekerasan di sana. Tidak ada kerusuhan. Tak pernah ada dorong-dorongan, lempar-lemparan atau bentrok dengan polisi.

Para pengunjuk rasa, umumnya perempuan dan tak sedikit remaja dan anak-anak, setelah berpawai membawa spanduk dan poster-poster, akan mengakhiri aksi dengan menggelar mimbar orasi.

Namun jangan disangka HTI tidak keras. Isi tiap orasi mereka justru sangat keras. Hanya HTI yang tanpa tedeng aling-aling menyebut Amerika dan Yahudi sebagai laknatullah. Cuma HTI yang berani menyebut demokrasi sebagai produk yang lahir dari sistem liberalisme, imperalisme, kapitalisme, dan sekularisme, dan karena itu harus ditolak. Demokrasi dan turunan-turunannya mesti ditolak, mesti tidak boleh dipercaya (lagi) dan diganti dengan sistem yang menurut mereka paling sempurna, khilafah.

MASSA HTI saat berunjukrasa menentang pelaksanaan KTT APEC di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
MASSA HTI saat berunjukrasa menentang pelaksanaan KTT APEC di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. (TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR)

Apakah seruan untuk menolak demokrasi dan menggantikannya dengan sistem khilafah berbahaya dan karena itu HTI pantas dibubarkan dan dianggap terlarang oleh pemerintah?

Sekali lagi saya tak ingin menyebut pantas tak pantas. Akan tetapi, sampai di sini, kita bisa melihat negara-negara lain sebagai pembanding. Termasuk negara-negara Islam. Malaysia telah melarang HTI. Pula demikian Arab Saudi, Pakistan, Suriah.

Total 17 negara telah memberangus Hizb ut-Tahrir, termasuk negara tempat kelompok ini pertama kali tumbuh dan berkembang, Jordania. Pada 1953, beberapa bulan setelah didirikan di Jerussalem oleh Taqiuddin al-Nabhani, Hizb ut-Tahrir ditetapkan sebagai organisasi terlarang karena dianggap mengancam kedaulatan negara.

Di Indonesia, HTI telah diawasi sejak 2010. Pengawasan yang lebih ketat dari sebelumnya yang didorong pergerakan-pergerakan HTI yang juga semakin masif dan berterus-terang. Mabes TNI melakukan kajian-kajian terhadap HTI dan menetaskan pertimbangan dan sikap-sikap.

Lalu kenapa pemerintah butuh waktu sampai tujuh tahun untuk mengambil langkah yang lebih jauh? Apakah langkah ini berkaitpaut politik? Berhubungan dengan Ahok? Berkorelasi dengan Pemilu Kepala Daerah serentak tahun 2018 dan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019? Apakah Presiden Jokowi berada di belakang semua ini? Apakah beliau sedang memainkan langkah- langkah catur?

Saya kira kemungkinannya memang ada. HTI dan Ahok, boleh jadi cuma gebukan awal. Seperti dalam permainan catur, Jokowi melakukan langkah yang sungguh aduhai. Langkah yang barangkali Bobby Fisher sekali pun sulit melakukannya.

GUBERNUR Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, menyapa pendukungnya usai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (9/5/2015).
GUBERNUR Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, menyapa pendukungnya usai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (9/5/2015). (AFP PHOTO/BAY ISMOYO)

Fisher, dalam pertandingan legendaris di kejuaraan dunia 1972 melawan Boris Spassky, melakukan pengorbanan bidak (pawn). Pengorbanan yang membuatnya menggulung Spassky, grandmaster dari Uni Soviet yang lebih diunggulkan.

Jokowi melakukan pengorbanan lebih besar. Ahok bukan sekadar bidak. Kapasitasnya mungkin telah sampai pada level kuda, juru gempur yang menyerang dan bertahan dengan cara unik. Atau malah benteng. Penjaga dari garis luar.

Maka jika Jokowi berani mengorbankan Ahok, tentu saja logikanya dia telah menyiapkan langkah-langkah yang membuat pertahanannya lebih kokoh dan serangan yang jauh lebih tajam. Langkah untuk menamatkan riwayat menteri, ratu, bahkan raja lawan.

Apakah begitu? (t agus khaidir)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved