Ngopi Sore

Basa-basi Bunga Ahok

Para suporter Ahok tentu saja memandang deret-deret karangan bunga ini dengan penuh rasa haru. Kelompok kontra mencibir dan menuding sebagai rekayasa.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
WARGA melintas di antara karangan bunga yang ditujukan untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat di halaman kantor Balai Kota Jakarta, Rabu (26/4/2017). Karangan bunga tersebut berisi simpati warga kepada Ahok-Djarot pascapilkada Jakarta 2017. 

SAYA tidak terkesan pada karangan bunga yang diterima Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat. Rabu, 26 April 2017, di atas mobil yang membawa saya ke satu kota ratusan kilometer dari Medan, lewat entah berapa banyak pesan di sejumlah grup WhatsApp, saya mendapati foto-foto yang menunjukkan karangan bunga yang berderet-deret di pekarangan Kantor Gubernur Jakarta, tempat Ahok dan Djarot berkantor sampai Oktober nanti. Dan, sekali lagi, saya tidak terkesan. Sama sekali tidak.

Bagi saya, karangan bunga sejak lama tak pernah beranjak nilainya dari sekadar basa-basi. Karangan bunga dikirim ke pesta-pesta pernikahan, ke acara-acara seremonial yang digelar instansi pemerintah atau perusahaan swasta, ke upacara-upacara kematian. Untuk pernikahan dan kematian karangan bunga tentulah dimaksudkan untuk menguatkan perasaan yang seolah-olah turut bersuka cita dan berbelasungkawa.

Benarkah demikian? Bisa jadi benar, bisa juga tidak. Sebab bahkan kadangkala (atau sebenarnya malah sering?) karangan bunga dikirimkan sebagai pengganti kehadiran. Dalam kondisi seperti ini, dapatkah karangan-karangan bunga tersebut mewakili perasaan bahagia dan berduka?

Lalu karangan bunga yang dikirimkan ke acara-acara seremonial. Peresmian kantor, misalnya. Atau pelantikan pejabat baru atau direktur atau manajer baru, misalnya. Atau ucapan selamat untuk penyelenggaraan seminar, simposium, peluncuran produk, dan lain sebagainya.

Satu karangan bunga paling murah Rp 100 ribuan. Termahal bisa sampai dua jutaan untuk bunga kertas. Jika bahannya bunga betulan dan motif rangkaiannya lebih rumit, harganya lebih fantastis.

Untuk apa? Apakah para pengirim karangan bunga ikut senang atas jabatan baru dari orang- orang yang dilantik? Barangkali ada yang demikian. Namun jumlahnya segelintir saja. Barangkali kerabat atau handai taulan atau kawan-kawan dekat dan sahabat yang bersangkutan. Sebagian cuma berbasa-basi. Sekadar untuk mengesankan perhatian dan kepedulian. Sebagian yang lain punya tujuan lain, yakni untuk menjilat dan cari muka.

Bunga untuk Ahok (dan Djarot) telah memicu kontroversi baru. Ribut-ribut baru. Tanpa sempat jeda dari keriuhan yang serba menjengkelkan pada jelang dan sampai hari pencoblosan Pemilu Jakarta, para suporter Ahok dan kelompok yang tak suka Ahok, meneruskan pertempuran di medan yang baru. Medan karangan bunga.

karangan bunga2
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Para suporter Ahok tentu saja memandang deret-deret karangan bunga ini dengan penuh rasa haru. Mereka menyebut Ahok boleh kalah di tempat pemilihan suara namun tetap menang di hati warga Jakarta.

Kelompok kontra mencibir pandangan ini dan balik menudingnya sebagai tindakan rekayasa. Mereka menduga, bunga-bunga tersebut dipesan dan dikirimkan sendiri oleh Ahok. Tujuannya untuk memberikan tekanan psikologi pada Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, di mana bunga direpresentasikan sebagai perwujudan dukungan dan cinta.

Saling berbantah-bantahan pun terjadi. Terutama sekali di media sosial. Facebook, Twitter, Line, bahkan Path dan Instagram, ramai dengan perdebatan perihal karangan bunga. Dan sebagaimana yang biasa terjadi di Indonesia hari-hari belakangan ini, ada saja yang mengedepankan pembandingan-pembandingan yang terasa naif. Bahwa karangan bunga adalah pemborosan.

Andaikata dikonversi ke rupiah, berapa orang anak yatim piatu yang bisa disantuni, berapa goni beras yang bisa dibeli untuk membantu warga di belahan lain dunia yang sedang dilanda kelaparan, berapa banyak semen atau pasir atau batu yang bisa dibeli untuk memperbaiki sekolah atau jalan atau jembatan yang rusak.

Saya tak ingin masuk pada kontroversi, pada duga-dugaan, pada pengandaian-pengandaian macam begini. Terlepas dari benar atau salahnya, entah karangan bunga yang jumlahnya lebih dari 1.000 papan itu dikirim sendiri oleh Ahok atau memang sungguh-sungguh datang dari orang lain, bagi saya posisi karangan-karangan bunga tersebut tetap tak berubah. Tetap basa-basi.

Apakah simpati termasuk basa-basi? Apakah kesedihan tergolong basa-basi? Secara hakekat memang tidak. Akan tetapi, dalam konteks hubungannya dengan karangan bunga, terlebih-lebih apabila benang merahnya ditarik lebih panjang ke Pemilu Jakarta dan periode pemerintahan selanjutnya, kebasa-basian memang tak terhindarkan.

Sebab setelah karangan bunga terpampang apa faedahnya? Bukankah sampai sejauh ini yang lebih banyak mengemuka justru perdebatan-perdebatan dan olok-olok yang sungguh tak produktif dan hanya bikin kepala berpotensi jadi miring?

Maka alangkah lebih baik apabila warga Jakarta, pemilih Ahok maupun pemilih Anies dan Sandiaga Uno, mengawal kerja Ahok (dan Djarot) sampai periode mereka berakhir Oktober mendatang.

Bukan cuma terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan seperti Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), Simpang Susun Semanggi, dan Arena Pacuan Kuda Pulo Mas. Tak kalah penting juga mengawal, dan juga mengawasi, proyek-proyek yang sudah jadi dan dioperasikan. Misalnya normalisasi sungai dan daerah pinggiran sungai. Sekarang, sejumlah bangunan liar dibangun warga di kawasan Pasar Ikan dan Kampung Akuarium. Kalijodo lebih gawat lagi.

Sehari setelah Ahok kalah, konon, kawasan itu langsung kehilangan keramahan dan keindahan. Oknum-oknum preman kembali, menyerobot pengelolaan perparkiran. Pedagang-pedagang panganan mendirikan tenda-tenda liar.

FOTO aerial ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA) Kalijodo Jakarta Barat yang terlihat semrawut, Minggu (23/4/2017). Kesemrawutan terjadi karena menjamurnya pedagang yang berjualan tidak beraturan sehingga menganggu warga yang ingin menikmati suasana serta fasilitas RPTRA.
FOTO aerial ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA) Kalijodo Jakarta Barat yang terlihat semrawut, Minggu (23/4/2017). Kesemrawutan terjadi karena menjamurnya pedagang yang berjualan tidak beraturan sehingga menganggu warga yang ingin menikmati suasana serta fasilitas RPTRA. (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Saya kira, menyoroti hal ini jauh lebih penting, dan berguna, daripada berbasa-basi mengirimkan karangan bunga lantas membuang-buang waktu, ngotot-ngototan mendebatkan hal yang sungguh mati tak ada gunanya.

Ramai-ramailah mengingatkan Ahok, bahwa dia masih gubernur sampai Oktober dan karenanya masih punya hak untuk memastikan pekerjaan-pekerjaannya berjalan dengan semestinya.

Di lain sisi ini membantu Anies dan Sandi juga. Sebab akan lucu sekali, ironis bahkan, apabila saat mereka mulai bekerja nanti, Kalijodo justru telah kembali ke wajah semula. Wajah sebelum ditertibkan Ahok. Wajah yang serba kotor dan mesum dan membuat kaum perempuan niscaya menjerit-jerit histeris jika mengetahui lelaki-lelaki tercinta mereka berada di sana. Apa nanti kata dunia? (t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved