Ngopi Sore
Selamat Hari Kartini, Mbak Dian Sastro
Apakah Kartini memang sebenar-benarnya pantas jadi pahlawan atau tidak? Apakah pemerintah telah keliru menetapkannya sebagai pahlawan?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SEBAGIAN besar rakyat Indonesia, seperti halnya kodrati sebagian besar manusia, memiliki kecenderungan untuk suka membanding-bandingkan. Membandingkan pemimpin politik yang satu dengan yang lain, membandingkan pemimpin-pemimpin agama, artis, olahragawan, ilmuwan. Membandingkan tingkat kecakapan mereka, kewelasasihan mereka, ketampanan, kecantikan, dan kepiawaian mereka. Lalu berdebat karenanya lantaran masing-masing pelaku pembanding-bandingan merasa pilihannya yang paling aduhai.
Kecenderungan ini, kita tahu, juga menyentuh kelompok pahlawan. Atau orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan. Perdebatannya menyangkut dua perkara: (1) pantas dan tak pantas; dan (2) di antara yang pantas, siapa yang paling pantas.
Seorang di antara pahlawan yang paling sering jadi objek perdebatan adalah Raden Ajeng (RA) Kartini. Apakah Kartini memang sebenar-benarnya pantas jadi pahlawan? Apakah sebaliknya, Kartini tak layak disebut pahlawan karena sifat-sifat keheroikannya yang tidak spektakuler?
Kartini memang melawan "dalam diam". Lewat pemikiran-pemikiran yang dituangkan pada lembaran-lembaran kertas yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Eropa. Khususnya di Belanda. Kartini yang berkebaya namun berpikiran barat, tidak memberontak dengan jalan mengangkat senjata.
Oleh para penentang kepahlawanannya, Kartini dituding ambigu. Memperjuangkan nasib orang, nasib perempuan-perempuan terutama perempuan Jawa (yang disebutnya sebagai 'rakyatku'), namun tak berdaya dan harus meratapi nasib sendiri, sampai mati.
Kartini mati muda, dalam usia 25, sebagai istri seorang laki-laki bangsawan Jawa dan pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda yang baru dikenalnya hanya beberapa pekan sebelum mereka menikah.
Selain dengan perempuan-perempuan pahlawan yang berdarah-darah dalam arti sebenarnya di medan tempur, Kartini sering diperbandingkan pula dengan perempuan yang sifat keheroikannya rada-rada mirip. Belakangan dengan dua perempuan yang berasal dari Sumatera. Dua perempuan yang selama berpuluh-puluh tahun sebelum kejatuhan Orde Baru namanya tidak pernah tercantum dalam buku sejarah mana pun: Alimatoe Saadiah Harahap dan Rohana Koedoes.
Alimatoe Saadiah lahir tahun 1885, lebih muda enam tahun dari Kartini. Rohana Koedoes lahir tahun 1884. Mereka memiliki satu kesamaan, yakni lahir bukan dari keluarga pribumi kebanyakan. Ayah Saadiah, konon, merupakan orang paling kaya di antero Sumatera. Sedangkan Rohana Koedoes memiliki garis keturunan terpandang. Dia bersepupu dengan H Agus Salim dan masih terhitung saudara tiri Sutan Syahrir, satu dari tiga Bung Besar pendiri republik ini.
Mana yang "lebih pahlawan" di antara ketiganya, terus jadi perbincangan (bahkan debat) yang seru. Terutama sekali pada tanggal 21 April saban tahun, di mana pemerintah Indonesia pada masa Presiden Soekarno menetapkannya sebagai Hari Kartini.
Masing-masing kubu mengedepankan argumentasi dan atas itu menyimpulkan bahwa figur yang mereka dukung lebih pantas disebut pahlawan dibanding figur yang lain.
Di luar mereka muncul pula sejumlah figur yang dinilai tak kalah hebat dan pantas pula dipahlawankan. Misalnya Boetet Satidjah, CH Haridjah, dan Siti Sahara, tiga wartawan perempuan yang nekat menantang pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan mendirikan surat kabar Perempoean Bergerak pada tahun 1919.
Sampai di sini pertanyaannya, apakah Kartini memang sebenar-benarnya pantas jadi pahlawan atau tidak? Apakah pemerintah telah keliru menetapkannya sebagai pahlawan? Apakah jika ada Hari Kartini, maka seharusnya ada Hari Tjoet Njak Dhien, Hari Tjoet Njak Meutia, Hari Martha Christina Tiahahu, atau Hari Maria Walanda Maramis?
Nama terakhir, dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yakni masyarakat Minahasa, sesungguhnya diperlakukan sama seperti Kartini. Tiap 1 Desember di Minasaha diperingati sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis.
Pertanyaan di atas belum terjawab. Benar, dan saya kira saya memang tidak ingin menjawabnya. Apakah Kartini pantas jadi pahlawan atau tidak, silakan Anda baca buku Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis Pramoedya Ananta Toer.
Di antara entah berapa banyak buku tentang Kartini, buku Pram yang sesungguhnya terdiri dari empat jilid ini (namun dua jilid dilenyapkan dari peradaban oleh Pemerintah Orde Baru) adalah buku bukan saja paling lengkap, lebih jauh juga paling bisa dipercaya tak memaparkan kibul-kibul yang mengacaukan sejarah.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/kartini2_20170421_170806.jpg)