Ngopi Sore

Pilkada Jakarta Selesai, Ribut-ribut Berlanjut

Semestinya hasil Pilkada Jakarta mengakhiri keriuhan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Ternyata tidak.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
TERDAKWA kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (tengah) mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4/2017). Sidang tersebut beragendakan pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. 

SEORANG kawan bilang, andaikata suporter-suporter kandidat dalam pemilihan umum di Indonesia, meniru sikap suporter sepakbola, negeri ini akan lebih tenteram. Saya balik bertanya, suporter yang mana?

Sepakbola tidak selalu indah. Sepakbola juga menyimpan permusuhan di baliknya. Permusuhan dalam makna yang sesungguhnya. Bukan sekadar beradu ejekan. Permusuhan bisa pecah menjadi kerusuhan, bentrok fisik, yang berujung pada kematian.

Mari sejenak melongok ke Italia. Di sini, Anda akan dengan mudah mendapati kisah-kisah permusuhan antar suporter klub-klub sepakbola. Paling masyhur tentulah permusuhan AS Roma dan Lazio, Inter Milan dan AC Milan, dan Juventus dan Torino.

Namun Anda keliru jika menyangka permusuhan-permusuhan ini yang terbesar. Di Italia, kisah-kisah permusuhan paling mengerikan justru datang dari klub-klub kecil. Ascoli, Verona, Padua, dan Triestina, pernahkah Anda mendengarnya? Juga antara suporter Bologna, Brescia, dan Genoa.

Dari Inggris kita mengenal duel dua klub Kota Manchester, Kota Liverpool, atau Arsenal dan Tottenham Hotspur di London. Namun perseteruan paling mencekam datang dari kawasan timur laut, Newcastle United kontra Sunderland. Sebelum dan sesudah pertandingan, masing-masing dua sampai tiga hari, polisi dan aparat keamanan lain akan berjaga-jaga di stadion, stasiun kereta api, bandara udara, juga di bar-bar, kafe, dan pusat-pusat keramaian.

Atau, bolehlah pergi ke Balkan. Ke Yugoslavia dan Serbia. Red Star Belgrade, FK Partizan, Hajduk Split, dan Dinamo Zagreb. Delije versus Grobari versus Torcida versus Bad Blue Boys.

Dari Turki, duel-duel suporter Besiktas dan Galatasaray. Tiap kali klub-klub ini akan bertanding, kekerasan sudah merebak jauh sebelum laga digelar. Kematian sudah menjadi "cerita biasa". Dan bagi mereka, perdamaian rasa-rasanya merupakan hal yang mustahil terjadi.

KERUSUHAN suporter pada pertandingan Galatasaray kontra Besiktas di Liga Turki, beberapa waktu lalu.
KERUSUHAN suporter pada pertandingan Galatasaray kontra Besiktas di Liga Turki, beberapa waktu lalu. (sg.sports.yahoo.com)

Terlepas dari kekeliruannya memaknai suporter, pemikiran kawan ini perihal pemilihan umum, kandidat-kandidat dan suporter-suporternya dan hubungannya dengan ketenteraman, saya kira tidak meleset-meleset amat. Masih boleh dibenarkan.

Dia bicara tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang sudah selesai sehari lalu. Pilkada ini, kita tahu, telah menyita banyak sekali perhatian. Telah menguras banyak sekali energi. Baik energi mereka yang terlibat langsung, sekadar menjadi bagian dari "kelompok hore- hore", maupun yang tidak berkaitpaut sama sekali.

Kita tahu Pilkada Jakarta tak berhenti pada politik. Dia menyinggung agama juga. Isu-isu suku dan ras melesat-lesat nyaris dari detik ke detik sepanjang 24 jam, tiap hari selama berbulan- bulan. Bukan cuma di dunia nyata pula. Di internet, jagat maya, di lini masa media-media sosial, pertempuran politik berbalut agama, suku, dan ras ini berlangsung riuh. Terlebih-lebih menjelang akhir putaran kedua.

Maka tibalah saat hari pemilihan. Warga Jakarta memberikan suaranya pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei memperkirakan Anies-Sandi menang dengan torehan 58 persen berbanding 42 persen.

Metode hitung cepat memungkinkan terjadinya kesalahan. Akan tetapi, jika pun ada kesalahan, persentasenya tidak pernah lebih besar dari lima persen. Jarak antara Anies-Sandi dan Ahok- Djarot mencapai 16 persen. Sangat jauh sekali. Dan merunut pada teori, kesalahan sebesar 16 persen adalah mustahil.

Dengan demikian, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan menjabat Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode berikutnya. Ahok tersingkir dari percaturan politik ibukota.

Semestinya, hasil ini mengakhiri keriuhan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan tadi. Sebab apalagi, toh, yang perlu diributkan? Anies sudah menang. Sandiaga sudah menang. Dan baik Ahok maupun Djarot dan partai-partai pendukung mereka telah menerima kekalahan. Mereka tidak berencana untuk, misalnya, menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau membawa persoalan ini ke pengadilan. Semestinya, Jakarta sudah adem-ayem. Semestinya lini masa media-media sosial kembali memampangkan perkara-perkara yang lebih menyenangkan.

Ternyata tidak. Ternyata, ribut-ribut berlanjut. Masih ada ejekan-ejekan, hujatan-hujatan, caci maki. Beberapa masih tentang Pilkada Jakarta, beberapa yang lain bergeser ke kasus dugaan penodaan agama, yang mana Ahok menjadi tersangkanya.

Kamis menjelang siang, 20 April 2017, kurang 24 jam setelah Ahok kalah (berdasarkan mekanisme hitung cepat) di Pilkada Jakarta, jaksa penuntut umum kasusnya menyebut Ahok bersalah dan menuntutnya 1 tahun, dengan masa percobaan 2 tahun.

Tuntutan inilah yang membuat ribut-ribut berlanjut. Tuntutan yang memang tak mengancam Ahok kurungan bui. Dia bisa dipenjarakan selama satu tahun. Akan tetapi dengan catatan Ahok mengulang perbuatannya dalam tempo dua tahun terhitung sejak vonis ditetapkan.

Kontra Ahok bersuara keras. Ada yang masih terkendali dalam melontar kritik. Masih elegan dengan mengemukakan opini pembanding. Namun tidak sedikit yang emosional, lantas melemparkan tudingan-tudingan yang pada akhirnya, tentu saja, bermuara ke pemerintah dan Presiden Joko Widodo.

Para pro Ahok (yang bukan kebetulan juga pro Jokowi) tidak tinggal diam. Mereka menampik dan membalas. Ada yang membalas dengan terkendali dan elegan, ada juga yang serampangan. Pendeknya, riuh sekali.

Sampai kapan berkesudahan? Sulit diperkirakan. Mungkin sampai 2019. Mungkin lebih lama. Mungkin sampai suporter Besiktas dan Galatasaray, suporter Hajduk Split dan Dinamo Zagreb, dan suporter klub-klub lain yang menjadikan permusuhan sebagai bagian dari filosofi mereka, dapat minum-minum sambil main kartu menjelang dan sesudah pertandingan.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved