Ngopi Sore

Pilih Firaun atau Musa. . . Di Jakarta!

Persis seperti di putaran pertama, semangat kampanye di putaran ini tidak berbeda: pro Ahok dan anti Ahok.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
BASUKI Tjahaja Purnama 

HISTERIA kedatangan Raja Salman sudah redup meski beliau dan rombongannya yang konon berjumlah 1500 orang itu masih pelesiran di Bali. Sekarang sorotan yang memunculkan keingar-bingaran dan kehebohan kembali ke titik semula, Pilkada Jakarta.

Kampanye putaran kedua telah dimulai sejak 7 Maret dan dijadwalkan berakhir satu pekan sebelum hari pencoblosan, 15 April 2017. Dan persis seperti di putaran pertama, semangat kampanye di putaran ini tidak berbeda: pro Ahok dan anti Ahok. Dan pertarungan di medan peperangan ternyata masih berkutat pada persoalan yang itu ke itu juga.

Pro Ahok makin rajin menebar "kebaikan-kebaikan" Ahok. Mengemukakan apa yang mereka anggap sebagai kinerja baik Ahok. Kinerja yang menjadikannya lebih istimewa dibanding pemimpin-pemimpin daerah lain, terutama sekali gubernur-gubernur Jakarta sebelum dia.

Mereka juga membuka mata dan telinga lebar-lebar terhadap segala sesuatu tentang Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, pesaing Ahok (dan Djarot) di putaran kedua. Tentu saja segala sesuatu yang sifatnya negatif.
Misalnya tudingan bahwa Anies Baswedan terlibat dugaan penyelewengan dana operasional keikutsertaan Indonesia di ajang pameran buku internasional, Frankfurt Book Fair. Anies masih menteri saat kasus ini ditengarai terjadi.

Begitu juga dengan pemanggilan Sandiaga Uno atas satu kasus pencemaran nama baik. Kasus yang terjadi tahun 2013. Kasus pribadi yang berada di ruang lingkup satu klub lari di mana Sandiaga menjabat ketua. Menurut polisi, Sandiaga Uno dipanggil dalam kapasitas sebagai saksi.

ANIES Baswedan
ANIES Baswedan (ANTARA FOTO/M AGUNG RAJASA)

Bagaimana para anti Ahok? Kelompok ini, yang sebagian di antaranya merupakan pendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dan sebagian lainnya bukan (bahkan ada yang sama sekali tidak bersinggungan dengan Pilkada Jakarta), menyerukan lebih kencang agar Ahok yang diduga melakukan penistaan agama jangan dipilih.

Andaikata Anda hidup di zaman Firaun, siapa yang akan Anda ikuti, Firaun atau Musa? Begitu kata mereka. Kalimat yang konon dicuplik dari satu tabligh di Jogja, pertengahan Februari 2017 lalu.

Intinya, kalimat ini dan kalimat-kalimat lain yang berasal dari tabligh yang sama, yang disebarkan lewat Facebook, ingin menegaskan bahwa Firaun adalah pemimpin yang cakap dalam pembangunan fisik namun zalim, dan Bani Israil, kaum pilihan keturunan Nabi Yakub bin Ishak bin Ibrahim, telah melakukan langkah tepat memilih Musa, pemuda cakap namun tempramental yang (atas izin kuasa Allah) bisa mengubah tongkatnya menjadi ular.

Sampai di sini tidak ada masalah. Andai hidup di zaman Firaun, siapa yang Anda pilih? Firaun atau Musa? Sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pengandaian lainnya, pertanyaan ini aduhai namun tidak punya jawaban sahih.

Artinya, jawaban apapun sah belaka. Sebab untuk menjawabnya siapapun mesti lebih dahulu melepaskan diri dari fakta sejarah yang dipapar dalam Al Quran --bahwa Firaun adalah penista Allah.

Dalam hakikat pengandai-andaian, fakta itu hilang, kembali kepada titik nol, awal peristiwa di mana fakta sejarah belum ada dan dengan demikian belum dituliskan.

Kita mengandaikan diri berada di Mesir pada tahun 1279-1213 Sebelum Masehi, di masa pemerintahan Ramesses II, Sang Firaun Generasi ke 19. Kita bisa berperan di sini. Entah sekadar peran pembantu atau bisa jadi peran utama.

Misalnya, berperan untuk mengubah alur sejarah. Bagaimana seandainya Ramesses II bukan penguasa diktator kufur yang patut dilaknat? Bagaimana kalau ternyata dia justru penguasa yang arif dan bijak dan karena itu patut dicinta?

Atau barangkali jawaban seperti ini kelewat liar dan hanya termungkinkan terjadi dalam film- film fantasi yang mengisahkan para pelintas dan pengelana waktu semacam Back to The Future atau Quantum Leap. Hanya Marty McFly atau Dr. Samuel Beckett yang bisa mengubah alur sejarah.

Barangkali pilihannya adalah bersikap lebih pasif. Sejarah tetap sebagaimana telah dituliskan dan kita mengandaikan diri kembali ke masa itu hanya untuk memilih dan pilihannya adalah Firaun atau Musa.

Begitulah, sekali lagi tidak ada masalah. Pengandaian ini baru menjadi masalah saat dibawa dan didekatkan pada Pilkada Jakarta. Bukan sekadar melintas waktu. Pengandaian ini juga dilesatkan melintas batas-batas geografi dan kultural. Mesir dan Jakarta abad 21.

Dan satu pertanyaan terpenting. Di Pilkada Jakarta, siapa Firaun siapa Musa? Apakah Ahok dapat merepresentasikan Firaun? Kapan kali dia pernah mengucapkan kalimat sebagaimana pernah diucap Firaun yang dicatat dalam Al-Qashshas ayat 38: "Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku"?

Sejauh ini belum pernah. Justru, entah disadari entah tidak, justru tidak sedikit dari para pengandai dan penuding (dan pengikut-pengikutnya) itu yang berlaku seperti Firaun. Sebuah hipokrisi. Bahkan ultrahipokrisi. Lain di mulut lain di perbuatan. Satu kecenderungan yang entah sadar entah tidak pula telah melahirkan Firaun-compulsive disorder, "penyakit kejiwaan" yang memang sangat sulit disembuhkan.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved