Ngopi Sore

Saudara-saudara TKI, Maafkan Fahri

Bagaimana sebaiknya menyikapi kasus Fahri? Selain telah menghapus cuitannya, Fahri juga sudah minta maaf.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
FAHRI Hamzah saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu. 

SAYA punya tetangga yang bekerja di Malaysia sebagai asisten rumah tangga. Sudah lama sekali. Sejak anaknya, yakni kawan sepermainan saya, masih berseragam SMP, sampai sekarang. Begitu lamanya hingga oleh keluarga tempatnya bekerja, dia sudah tidak lagi dianggap orang lain. Dianggap saudara. Saat dia pulang kampung, seluruh anggota dari keluarga tempatnya bekerja ikut serta.

Pemandangan ini membuat segala bayangan tentang asisten rumah tangga di benak saya, berubah sama sekali. Bahkan mampu menepiskan bayang-bayang Doris Callebaute dalam satu adegan paling legendaris dalam Inem Pelayan Sexy. Bayangan saat dia mengepel lantai dengan bokong yang digoyang-goyangkan, lalu berkata kenes: 'nama saya Inem, pekerjaan babu'.

Ingatan terhadap tetangga saya, dan Doris Callebaute, sebenarnya sudah mengendap dan barangkali tidak akan muncul lagi dari balik ruang ingatan apabila tidak ada kehebohan yang dilesatkan seorang anggota DPR RI, seorang wakil rakyat. Anda pasti mengenalnya sebab beliau sangat kesohor. Namanya Fahri Hamzah. Lewat Twitter, Fahri menulis: "Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela."

Cuitan di Twitter ini (akun @fahrihamzah) diterbitkan pada Selasa, 24 Januari 2017, pagi pukul 04.14, dan dihapus beberapa jam berselang. Kenapa dihapus? Fahri bilang, dia tidak bermaksud menghina.

"Saya menyebut anak bangsa mengemis karena ada yang lebih ekstrem, dijual dan diperbudak. Saya sebut istilah babu, karena ada yang lebih ekstrem dibunuh dan disekap serta ditindak," tulisnya.

Penghapusan cuitan dan argumentasi Fahri tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Banyak yang terlanjur marah. Para pekerja Indonesia di luar negeri tak terhitung banyaknya. Lewat Twitter, juga lewat media-media sosial lain, mereka menggugat kalimat Fahri.

Bukan cuma buruh. Gugatan juga datang dari Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri. Hanif menulis: "Saya anak babu, ibu saya bekerja menjadi TKI secara terhormat, tidak mengemis, tidak sakiti orang, tidak curi uang rakyat. Saya bangga pada ibu #MaafkanFahriBu." Ibu Menteri Hanif, menurut dia, pernah bekerja sebagai TKI selama enam tahun.

TWITTER
TWITTER

Sebelumnya, Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, dan Nur Halimah, Ketua Koalisi 55 Organisasi Buruh Migran Indonesia di Hongkong (Mereka tergabung dalam Lingkaran Aku Cinta Indonesia atau disingkat LACI), juga bereaksi keras.

"Tak ada yang mengemis, mereka bekerja sebagai PRT di luar negeri secara terhormat. Apakah Anda sudah memartabatkan mereka? Revisi UU TKI jalan di tempat sejak 2010," tulis Anis.

"Tahukah Bapak bahwa kami ini pekerja, bukan babu. Kami mempunyai harkat dan martabat. Kami melakukan pekerjaan yang halal dengan setiap tetesan keringat kami, bukan hasil korupsi, apalagi hasil mengemis," tulis Nur Halimah. Selain lewat media sosial, Nur juga mengirimkan tulisannya ke sejumlah surat kabar dan majalah di Indonesia.

Sampai di sini kita barangkali bisa menyimpulkan bahwa biang persoalan yang mengapungkan ribut-ribut ini adalah dua kata: 'babu' dan 'mengemis'. Dua kata yang sesungguhnya sering jadi olok-olok dalam Srimulat.

Apakah Anda sekalian masih ingat adegan-adegan saat Gepeng, Timbul, Asmuni, Jojon, atau Tessy, dengan serbet diletakkan di pundak, duduk di sofa dan merisak majikan-majikan mereka? Juga bagaimana mereka, dalam rupa pengemis, justru bersikap "pongah" dan "membodoh-bodohi" orang yang (berpenampilan) kaya.

Begitulah di atas panggung-panggung Srimulat, babu dan pengemis tidak ditempatkan di posisi inferior. Bukan objek perisakan untuk mengalamatkan kesengsaraan. Mereka boleh tetap melarat dan kampungan, akan tetapi mendapatkan keistimewaan, yakni keleluasaan untuk berbuat sewenang-wenang. Hal yang selama ini terlanjur diyakini hanya menjadi privilege orang-orang kaya. Srimulat, lewat sudut pandang mereka yang memang nyaris selalu extra ordinary, memberikan kemenangan untuk orang-orang kecil.

Persoalannya, Fahri Hamzah bukan anggota Srimulat. Walaupun sering melawak, dia bukan pelawak. Dia anggota DPR, wakil rakyat yang semestinya cerdas, terhormat, dan berwibawa.

Bahwa ternyata ada juga pelawak yang jadi wakil rakyat, tentu saja juga bukan satu kesalahan. Pelawak secara kodrati boleh tetap lucu, baik penampilan maupun gesturnya, namun saat menyampaikan pandangan dalam posisi sebagai wakil rakyat, dia harus bisa menunjukkan kewibawaan. Dia harus kelihatan terhormat. Tidak boleh ngawur, apalagi pamer goblok, karena tiap kata yang meluncur dari mulutnya adalah representasi dari rakyat yang diwakilkan olehnya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved