Ngopi Sore
Pak Habib Tak Bisa Ngetweet Lagi
Ketiga akun yang diblokir memiliki banyak pengikut. Ribuan pengikut. Terutama akun @syihabrizieq milik Habib Rizieq Shihab.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SATU kabar mengejutkan melesat pada Selasa (17 Januari 2017) pagi. Di tanggal yang cantik ini, 17 1 17, tiga akun Twitter milik FPI: dua akun organisasi (@DPP_FPI dan @HumasFPI) dan satu akun pribadi milik imam besar mereka, Habib Rizieq Shihab (@syihabrizieq), diblokir.
Sebenarnya pemblokiran (secara resmi) ini dilakukan Twitter pada 16 Januari 2017 siang menjelang petang. Namun kehebohan memang baru benar-benar meledak di media sosial sejak Selasa pagi. Pelecutnya adalah kiriman dari akun FPI di Facebook.
Pada kiriman ini dipaparkan bahwa telah terjadi suspend blocked terhadap tiga akun yang berkaitpaut erat dengan FPI di Twitter. Berikut tangkapan gambar (capture) dari akun-akun tersebut.
Lalu apa yang membuat kabar ini melecutkan kehebohan? Tiada lain adalah pertanyaan di penghujung kabar. Akun ini melempar kalimat tanya: "kenapa rezim panik sekali?"
Tentu tidak perlu telaah yang dalam untuk mengetahui rezim mana yang dimaksud. Dan sudah barang tentu juga tak harus menjadi ahli (termasuk ahli nujum), untuk memahami siapa yang menjadi sasaran tembak lebih lanjut. Saya tahu dan Anda sekalian barangkali juga tahu dan hal ini tidak usah dibahas berpanjang-panjang lantaran tak ada gunanya.
Anggap saja pertanyaan itu merupakan pengejawantahan dari ketidaktahuan pelaksana operasi akun Facebook FPI perihal mekanisme blokir media sosial. Toh, pascamelakukan pemblokiran pihak Twitter sudah memberikan penjelasan panjang lebar dan dilansir banyak media juga.
Lebih menarik untuk dicermati adalah efek dari pemblokiran bagi FPI dan khususnya bagi Habib Rizieq Shihab. FPI, kita tahu, selama ini aktif dan gencar memberitahukan dan menyosialisasikan aktivitas-aktivitas atau pendapat atau pemikiran-pemikiran mereka melalui Twitter, web social networking berbasis microblogging bikinan kwartet Jack Dorsey, Noah Glass, Biz Stone, dan Evan Williams.
Ketiga akun yang diblokir memiliki banyak pengikut. Ribuan pengikut. Terutama akun @syihabrizieq milik Habib Rizieq Shihab yang angka pengikutnya sudah mencapai enam digit.
Lantas bagaimana setelah akunnya diblokir? Bagaimana setelah Pak Habib tak bisa ngetweet lagi? Munarman, Juru bicara FPI, memberikan jawaban yang terkesan cuek: biarin aja. Namun benarkah begitu? Benarkah pemblokiran disambut masa bodoh?
Sejumlah wartawan mewawancarai Munarman, Senin petang, usai massa FPI menggelar aksi unjuk rasa di Markas Besar Polri menuntut Kepala Polda Jawa Barat mundur dari jabatannya. Petang itu Munarman tak acuh, akan tetapi esoknya FPI lewat akun mereka di Facebook mengemukakan pertanyaan yang sedikit banyak menyiratkan nada gugatan.
Habib Rizieq juga berkomentar. Habib menduga pemerintah berperan dalam penutupan akun-akun FPI. Menurut dia pula, tak ada sejarahnya Twitter menutup akun tanpa berkomunikasi dengan penguasa setempat.
Lagi-lagi bentuk ketidakpahaman tentang mekanisme pemblokiran. Selain kurangnya pengetahuan perihal sejarah media sosial. Habib tidak tahu bahwa sepanjang sejarah Twitter yang mulai "mengudara" sejak Maret 2006, ada banyak sekali akun yang diblokir, baik sementara maupun permanen, dan itu dilakukan tanpa harus berkomunikasi dengan penguasa setempat. Terlebih-lebih untuk akun yang belum mendapatkan verifikasi (ditandai dengan tanda centang biru).
Twitter, atau Facebook, atau media sosial lain seperti Instagram, Path, Line, merupakan platform-platform yang dalam operasionalnya berdiri sendiri. Untuk Twitter, seluruh operasional dikendalikan dari kantor mereka di Kota San Fransisco (Amerika Serikat) dan Dublin (Irlandia). Mereka tidak berada di bawah koordinasi Kementerian Komunikasi dan Telekomunikasi di Indonesia.
Maka adalah menjadi kuasa penuh dari Twitter untuk memproses, menyetujui, memverifikasi, memblokir, dan menutup akun tanpa perlu berkomunikasi dengan pemerintah.
Terlepas dari perkara kurangnya pemahaman dan pengetahuan ini, apakah reaksi FPI dan Habib Rizieq Shihab dapat menjadi gambaran bahwa pada dasarnya FPI tidak cuek?
Mungkin memang tidak. Sebagai organisasi yang dihuni banyak orang pintar, FPI pasti menyadari betul betapa di hari-hari ini media sosial telah menjelma urat nadi kehidupan. Sudah menjadi kebutuhan primer sebagaimana sandang dan pangan. Bagi organisasi dengan massa besar, level kebutuhan atasnya tentu juga semakin besar. Dan dibanding Facebook, terutama di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, microblogging merupakan jawaban yang tepat untuk kampanye yang lebih cepat dan efektif.
Kita ingat bagaimana aksi-aksi unjuk rasa besar yang mengusung semangat 'Bela Islam' beberapa waktu lalu (dan direncanakan masih berkelanjutan) berawal dari pergerakan di akun-akun Twitter milik FPI yang telah diblokir tadi. Dari sejumlah cuitan, kalimat-kalimat sepanjang 140 character, tumbuh menjadi pergerakan yang berskala raksasa dan masif.
Pertanyaan di atas belum terjawab. Bagaimana setelah akunnya diblokir? Bagaimana setelah Pak Habib tak bisa ngetweet lagi? Saya tentu saja tidak tahu. Barangkali para ahli IT di FPI akan melapor dan memberi klarifikasi ke Twitter. Laporan dan klarifikasi merupakan langkah-langkah yang bisa ditempuh (dan memang disediakan oleh tiap media sosial) saat terjadi pemblokiran akun. Jika klarifikasi bisa menjawab masalah-masalah yang menyebabkan pemblokiran, biasanya, blokir akan dilepas.
Kalau gagal bagaimana? Apa boleh buat. Terpaksa bangun akun yang baru, atau pergi sepenuhnya dari Twitter dan beralih ke media sosial lain. Keduanya elegan. Yang tak elegan adalah pergi sembari teriak-teriak mengkambinghitamkan pihak lain. Menyalahkan pemerintah, menuding Jokowi, apalagi kalau sampai menyerukan boikot. Twitter bukan Sari Roti. Jika terjadi ini akan jebluk sekali.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/habib-twitter_20170117_184402.jpg)