Ngopi Sore
Fitsa Hats
Novel bekerja di sana bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum dia bergabung dengan FPI.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
BERKALI-kali saya berencana berhenti berinteraksi di media sosial, terutama Facebook dan Twitter, namun berkali-kali pula batal terwujud. Melulu karena saya menemukan hiburan- hiburan yang menyenangkan hati.
Ironis sebenarnya. Bahkan kontradiktif. Sebab rencana berhenti berinteraksi di media sosial justru dilatarbelakangi kekesalan dan kejengkelan akibat keriuhan-keriuhan yang terjadi di sana nyaris sepanjang 24 jam. Keriuhan-keriuhan sontoloyo yang sedikit banyak menghina akal sehat dan potensial menyeret siapapun makin dekat ke tepi jurang kepandiran.
Tapi begitulah. Tiap kali hampir bulat, hampir dilaksanakan, tiap kali pula muncul hiburan yang memaksa saya berpikir ulang dan akhirnya menunda rencana tersebut. Hiburan seperti apa? Apakah sangat spektakuler?
Sama sekali tidak. Hiburan-hiburan ini pada dasarnya tak jauh-jauh dari kebodohan juga. Namun saya kira, sepanjang disikapi sekadar sebagai hiburan, kebodohan bisa saja menyenangkan. Di lain sisi, kadangkala kita memang perlu menghargai kebodohan. Bukankah Charlie Chaplin pernah bilang, It takes courage to make a fool of yourself. Iya, upaya menjadi bodoh itu tantangannya besar sekali. Diperlukan keberanian yang tidak main-main.
Kebodohan menyenangkan paling anyar yang melesat-lesat di Facebook adalah Fitsa Hats. Anda merasa asing? Awalnya saya juga. Awalnya saya mengira frasa ini cuma bentuk "perusakan" dari Pizza Hut, merek restoran pizza terkenal, yang dilakukan semata-mata untuk lucu-lucuan.
Ternyata tidak. Fitsa Hats dikedepankan sebagai ejekan terhadap Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Sekretaris Jenderal DPP FPI Jakarta. Frasa Fitsa Hats ditemukan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dirinya sebagai saksi dalam kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kandidat Gubernur Jakarta.
Dari Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, frasa Fitsa Hats menyebar kemana-mana. Beragam reaksi mengemuka. Pihak yang pro pada Ahok ramai-ramai mengejek dan menertawakan. Dalam waktu sangat singkat, puluhan meme tercipta.
Sebaliknya kontra Ahok mengedepankan tangkisan-tangkisan. Ada yang menyalahkan polisi. Ada yang berusaha menggiring opini kembali ke substansi persoalan --bahwa ini adalah perkara penistaan agama oleh Ahok dan frasa Fitsa Hats cuma kesalahan gramatika yang tak terkaitpaut dengan isu utama.
Ada pula yang menghadapkan lelucon ini bermuka-muka dengan peristiwa lain, yakni pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa dia pernah menandatangani sejumlah berkas kenegaraan tanpa terlebih dahulu membaca isinya. Foto BAP Novel disandingkan dengan foto halaman depan koran Jakarta Globe yang memuat pernyataan itu dan memberinya judul 'I Don't Read What I Sign'. Dalam pemikiran orang-orang yang menjadikan hal ini sebagai bahan tangkal, barangkali, jika Presiden Jokowi saja bisa tak membaca dan langsung menandatangani berkas kenegaraan, maka kecenderungan yang sama juga bisa terjadi pada Novel Bamukmin.
Tentu saja saya akan memilih untuk tidak membuka ruang debat dengan orang-orang semacam ini. Percuma lantaran tak bakal sampai pada satu titik temu. Debat hanya akan berkesudahan sebagai kesia-siaan yang melelahkan sebab di dalam kepala mereka sudah terbangun satu kebenaran yang tidak dapat diganggu-gugat lagi. Kebenaran hanya miliknya dan kaum yang sepandangan dengannya.
Lantas pertanyaannya, bagaimana sebaiknya memandang lelucon ini? Apakah sekadar sebagai lelucon? Saya ingin demikian namun celakanya tidak bisa. Frasa Fitsa Hats pada posisinya sekarang telah menjadi lelucon tingkat tinggi. Bukan sejenis lelucon Srimulat apalagi komedi rendahan bermodal stereoform dan tepung.
Saya membaca gagasan Noam Chomsky perihal struktur permukaan dan struktur dalam pada bahasa ujaran. Satu kajian yang melahirkan pandangan baru dalam khazanah linguistik, yakni apa yang kemudian disebutnya sebagai tata bahasa transformasional, di mana struktur-struktur ujaran pada akhirnya memang merepresentasikan sikap dan pandangan dan perbuatan para pengujarnya.
Para penyerang Novel Bamukmin menghantamnya dari sisi ini. Novel kerap menyuarakan sikap antikapitalis namun dia ternyata pernah bekerja di Pizza Hut. Para penyerang ingin menyebut dia bersikap lain di mulut lain di perbuatan.
Serangan ini sesungguhnya tak berbahaya dan mudah saja dipatahkan lantaran Novel bekerja di sana bertahun-tahun yang lalu. Jauh sebelum dia bergabung dengan FPI dan Novel telah mengakuinya secara terbuka. Dia bekerja di Pizza Hut di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, selama tiga tahun (1992-1995) sebagai maintenance mesin di dapur.
Lalu kenapa Pizza Hut berubah jadi Fitsa Hats? Apakah ini semata persoalan salah dengar dan salah tulis dari polisi yang melakukan pemeriksaan? Atau jangan-jangan ada upaya untuk menghapus rekam jejak masa lalu?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab secara sahih oleh polisi yang mengerjakan BAP dan Novel sendiri, dan saya kira memang bukan perkara yang penting-penting amat. Fitsa Hats, atau katakanlah Setarbak atau Mek Donal atau Dangkin Donats atau Kentaki Fret Ciken sekalipun sesungguhnya tiada berbeda. Cuma frasa yang "dirusak" dan bisa dipandang dengan kaca mata apapun dan dengan demikian bebas diinterpretasikan.
Akan halnya yang lebih penting adalah fakta betapa saat ini keterbelahan kita akibat perbedaan pilihan politik sudah semakin terang dan nyata. Bahkan perkara remeh temeh macam Fitsa Hats bisa menciptakan kegaduhan yang seolah-olah serius.(t agus khaidir)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/novel-fpi_20170104_175222.jpg)