Breaking News

Ngopi Sore

Air Mata Ahok

Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam persidangannya, Ahok menangis. Dia menghentikan bicaranya dan menghapus air matanya yang menetes.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TRIBUNNEWS/CNN INDONESIA/SAFIR MAKKI/POOL
SIDANG AHOK - Gubenur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok mengikuti persidangan perdana kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Selasa (13/12/2016). Ahok diajukan ke pengadilan terkait dugaan penistaan agama yang dilakukannya dalam satu acara di Kepulauan Seribu, September 2016. 

KANDIDAT Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, akhirnya duduk di kursi pesakitan. Dia dihadapkan ke muka meja hijau atas aduan terkait dugaan penistaan agama yang dilakukannya.

September 2016, Ahok, yang masih menjalankan tugas sebagai gubernur, berbicara di depan warga dalam satu pertemuan di kawasan pelelangan ikan Kepulauan Seribu. Pertemuan yang membahas perihal program keramba apung.

Entah bagaimana, entah lantaran sudah kelewat dongkol atau jengkel terus-menerus memendam perasaan, Ahok melepas omong yang sama sekali tak cerdas. Omong yang kemudian memang benar-benar menjadi blunder besar baginya.

Ahok menyebut Surah Al Maidah ayat 51. Ayat yang mengupas soal pemimpin dan kepemimpinan. Lalu, mengemukakan bahwa tafsir atasnya, dipakai untuk perkara yang tak pantas. Kalimat Ahok: "dibohongi pakai Al Maidah 51".

Dipandang dari sudut manapun, terlepas dari dugaan editing yang dilakukan Buni Yani saat melemparkan kembali rekaman pernyataan Ahok itu ke media sosial (yakni menghilangkan kata 'pakai'), kalimat ini keliru. Dengan kata 'pakai' atau tidak, keberadaan kata 'dibohongi' membuat kalimat Ahok jatuh jadi kesalahan yang fatal.

Tentu, bukan Al Maidah yang bohong. Persisnya, bukan surah atau ayat bohong. Ahok juga tidak mengatakan itu. Akan tetapi, 'dibohongi' bukanlah pilihan kata yang tepat dalam situasi yang menjadikannya tersudut sebagaimana dimaksud Ahok. Sebab sama sekali tidak ada yang berbohong di sini. Tidak surah maupun ayatnya. Tidak juga penyampaiannya. Al Maidah 51 disampaikan sesuai konteksnya.

Bahwa dalam praktiknya penyampaian ini disampaikan secara berulang-ulang, terus-menerus, dan makin dekat pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah Jakarta makin gencar dilakukan, itu tetap bukan kebohongan. Ahok semestinya lebih cermat dan berhati-hati dalam memilih kata.

Sebab bagi orang yang punya banyak musuh seperti dirinya, kesalahan besar atau kesalahan kecil akibatnya memang tak akan berbeda. Seperti dialaminya sekarang.

Ahok, kita tahu, sudah mengaku salah. Dia sudah berkali-kali menyatakan penyesalan dan memohon maaf atas ketidakcerdasannya, kelancangannya, yang memunculkan keresahan dan kemarahan. Tapi kita juga sama-sama tahu, betapa maaf ini tak berarti. Ahok tetap diseret ke pengadilan atas tudingan telah melakukan penistaan agama. Dua aksi unjukrasa besar-besaran, plus satu acara zikir dan doa bersama serta salat subuh berjamaah, digelar untuk mendesak penanganan hukum kasusnya.

SIDANG AHOKKK1
FOTO udara menunjukan massa Aksi Damai 212 memenuhi kawasan silang Monas, Jakarta, Jumat (2/12/2016).

Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dalam persidangannya, Ahok menangis. Dia menghentikan bicaranya dan menghapus air matanya yang menetes. Ahok mengatakan dia gagal menahan emosi, perasaan sedih, yang sekian lama menggumpal di dadanya.

Saya sempat melongok sejenak ke media sosial namun kemudian cepat-cepat berpaling lagi. Saya merasa ngeri. Di sana, tangis Ahok, air mata Ahok, telah diterjemahkan ke berbagai rupa kesimpulan. Pro Ahok menyimpulkannya sebagai air mata ketertekanan. Sebaliknya kontra ahok memandangnya sekadar sebagai air mata buaya. Air mata pura-pura yang dikeluarkan seorang aktor kelas wahid.

Mana yang benar tentu cuma Ahok dan Tuhan yang tahu. Cuma Ahok dan Tuhan yang tahu apakah air mata itu tulus dan mengalir lantaran luka hati yang perih atau bagian belaka dari satu sandiwara politik ciamik.

Air mata luka hati adalah romantisme. Sedangkan air mata politik keluar dari tangis yang sistematis dan struktural. Tangis yang serba dirancang dan telah diperhitungkan rugi dan untungnya dan seberapa besar potensinya untuk mencapai tujuan.

Sebenarnya ada kemungkinan ketiga. Dalam Les Miserables, Victor Hugo menulis satu kalimat yang kemudian dicatat sebagai salah satu mutiara abad ini: "Those who do not weep, do not see." Iya, siapa yang tak menangis, (berarti) tak melihat.

Hugo menggunakan kata 'weep'. Bukan 'cry'. Bukan pula 'sob'. Dalam bahasa Inggris, ketiganya berarti serupa, yakni tangis, tetapi maknanya satu sama lain berbeda. Dan 'weep', adalah tangis yang paling mencekam. Tangis yang berangkat dari kesedihan mendalam. Tangis tanpa suara, meninggalkan senguk dan derai air mata karena guncangan emosi yang sungguh-sungguh berat. Tangis rohaniah yang sulit reda.

Tangis, yang menurut Victor Hugo, paling mustajab untuk membangkitkan empati dan simpati di satu sisi, dan kebenaran di sisi yang lain. Tangis yang menguatkan kepekaan untuk melihat.

Apakah tangis Ahok adalah 'weep'? Atau 'cry'? Atau sekadar sebangsa 'sob', tangis penuh keberisikan yang seringkali sesungguhnya tiada lebih dari kepura-puraan?

SIDANG AHOKKK2
GUBENUR DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok saat tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, untuk menjalani sidang kasus dugaan penistaan agama, Selasa (13/12/2016).

Ada banyak kemungkinan, tentunya, dan sekali lagi, meski di media sosial telah bertebaran para ahli nujum dan stasiun-stasiun televisi menyiarkan momentum tangis itu berulang-ulang, memang hanya Ahok dan Tuhan yang bisa memberikan jawaban paling sahih.

Tapi poin terpenting dari peristiwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara adalah betapa tangis ini makin menerangtegaskan satu kecenderungan: politik dan segenap silang sengkarutnya, yang dipaksakan untuk diperlawankan atau sebaliknya diboncengkan dengan agama, hanya akan membuat keduanya berjalan ke arah kekosongan.(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved