Ngopi Sore
212-412: Antara Nurani dan Industri Politik Syak Wasangka
Politik adalah seni bermain curang. Tentu saja tetap ada kejujuran. Namun bentuknya bukanlah sebangsa kejujuran naif tokoh protatagonis di sinetron.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TERUS terang, saya gagal menahan tawa tatkala tanpa sengaja terperogok pada satu kiriman seorang pengguna internet di Facebook, beberapa hari lalu. Kiriman yang dapat saya lihat setelah diteruskan seseorang ke akun Facebook milik seorang lain yang berteman dengan saya.
Kiriman berupa gambar yang menunjukkan tiga orang sedang bersantap. Entah santap siang atau santap malam, tidak jelas benar. Pastinya, ketiga orang di dalam foto adalah Kepala Polisi RI Jenderal Tito Karnavian, kandidat Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan politisi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait.
Foto ini disertai keterangan (saya kutipkan sebagaimana aslinya): "biar foto yang berbicara... atas ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. acara minum2 MIRAS bersama. akibat sering gaul sama aHOK. hukum hanya tajam kebawah tumpul keatas."
Maka mau tak mau saya memang harus tertawa. Kenapa? Karena yang disebut miras (akronim minuman keras) adalah Equil, satu merek air mineral premium yang kemasannya sekilas pintas mirip kemasan minuman keras, terutama sekali champagne.
Kesalahkaprahan ini mendapatkan banyak reaksi. Di Facebook, juga di Twitter di mana kiriman ini diteruskan hingga ratusan kali, para pengguna internet ramai-ramai memberi komentar. Rata-rata lucu. Ada yang mengaitkannya dengan Pemilihan Gubernur Jakarta.
Kata pemberi komentar ini, siapapun yang nanti terpilih sebagai gubernur akan punya pekerjaan rumah berat lantaran jurang kesenjangan sosial di Jakarta sudah sangat lebar. Saking lebarnya, ada orang yang tidak pernah melihat botol Equil seumur hidupnya.
Di luar kelucuan-kelucuan yang mengemuka, perkara kesalahkaprahan botol air mineral ini memberi kita satu pelajaran penting. Atau barangkali lebih tepatnya peringatan. Betapa Indonesia sekarang berada dalam situasi "siaga satu" kecerdasan. Mungkin bukan kecerdasan an sich. Melainkan kecerdasan yang melorot karena kemalasan.
Malas memeriksa dan meneliti. Malas mencari referensi. Malas membaca. Malas melakukan apa yang justru seringkali dicecarkan dan digembar-gemborkan (dengan semangat untuk mengejek pihak yang dipersangkakan tidak melakukannya), tabayyun.
Dan akibatnya adalah kekacauan. Syak wasangka yang satu disambut syak wasangka yang lain. Tudingan dibalas klarifikasi dan dibalas lagi dengan tudingan baru. Media sosial riuh oleh perang risak yang berlangsung setiap hari selama 24 jam penuh.
Masih segar di ingatan perihal beredarnya foto seorang yang disebut sebagai Amelia Ayuningtyas, perempuan pendukung Ahok, pentolan kelompok relawan Teman Ahok. Hujatan mengemuka lantaran di foto tersebut "Amelia" terlihat "lancang" duduk di kursi Kapolri Jenderal Tito.
Para anti Ahok, berangkat dari syak wasangka mereka, menyusun teori kemungkinan bahwa sikap Tito atas rencana aksi 2511 (25 November) dan 212 (2 Desember) berhubungan erat dengan kedekatannya pada kubu Ahok.
Lalu apa yang kemudian terjadi? Ternyata salah orang. Bahkan yang disebut perempuan pada dasarnya adalah laki-laki, dan wartawan pula.
Tidak lama, muncul pula foto sejumlah ulama yang di antaranya diduga Habib Rizieq Shihab dan Ustad Soleh Mahmud (Solmed) dengan beberapa konglomerat Tionghoa, termasuk seorang yang ditengarai sebagai Tommy Winata. Foto yang segera disambut adu risak antara kubu pro Habib Rizieq (dan FPI) dengan para kontranya. Fokus adu risak adalah celana pendek para konglomerat. Celana pendek dipandang sebagai bentuk ketidakhormatan dan pelecehan terhadap ulama.

UMAT Islam melaksanakan salat Jumat saat Aksi Bela Islam III di kawasan silang Monas, Jakarta, Jumat (2/12/2016). Massa aksi menggelar salat Jumat bersama lalu menggelar dzikir dan doa untuk kebaikan bangsa dan negara.
Pascapelaksanaan aksi 212 dan kemudian 412 (4 Desember), gelanggang pertempuran risak- merisak semakin riuh. "Tangkap Ahok "dan "Penjarakan Ahok" terus bergema kencang. Pun demikian "Turunkan Jokowi".
Kedatangan Presiden Jokowi ke Monas untuk Salat Jumat bersama-sama para peserta aksi sama sekali tidak menyurutkan syak wasangka. Presiden disebut tak ikhlas. Presiden disebut cari muka. Presiden disebut merancang strategi busuk dan mengambilalih panggung. Yang terakhir berkenaan dengan penangkapan 10 orang yang diduga melakukan rencana makar dan Ahmad Dhani yang selama bertahun-tahun kerap jadi bahan liputan infotainment atas kasus-kasus yang serba memalukan mendadak dipuja-puja sebagai aktivis.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/syak-wasangka4_20161204_173053.jpg)

