Opini
Pembangunan Kawasan Wisata Toba yang Berkelanjutan
Kunjungan presiden di beberapa wilayah Sumatera Utara minggu lalu, menunjukkan betapa permerintah menaruh perhatian besar bagi kawasan ini.
2. Wisata berbasis ekologi (ecotourism). Ekowisata sebuah konsep perjalan wisata ke sebuah tempat yang masih terjaga kealamiannya dengan tujuan konservasi lingkungan, melestarikan kehidupan dan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Terdapat beberapa kawasan penting di wilayah ini untuk ekowisata-Taman Nasional dan Hutan konservasi- seperti TN Gunung Leuser (TNGL) di utara Danau Toba dengan yang nilai keaneka ragaman hayati yang sangat tinggi.
Kawasan ekowisata Tangkahan yang juga bagian TNGL yang menonjolkan kekayaan vegetasi hutan tropis dan habitat gajah liar yang tersisa di Pulau Sumatera. Ekowisata Bukit Lawang sebagai pusat rehabilitasi orangutan untuk dikembalikan ke habitat aslinya di kawasan TNGL. Masih terdapat banyak potensi ekowisata yang perlu dikembangkan di sisi Barat dan Selatan Danau Toba.
3. Wisata pendidikan atau wisata edukasi (educational tourism). Kawasan Danau Toba dapat dijadikan menjadi laboratorium alam untuk bidang keilmuan geologi, biologi, kehutanan, dll. Kawasan ini menjadi situs menarik bagi para ahli-ahli geologi domestik dan manca negara tentang sejarah terbentuknya Kaldera Danau Toba.
Para peneliti vegetasi yang tertarik pada keanekaragaman vegetasi yang terbentang pada hutan tropis dataran rendah sisi Barat, dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan sampai pantai Timur Sumatera. Para ahli biologi dapat melakukan kegiatan penelitian spesies-spesies langka seperti Orangutan Sumatera dan Harimau Sumatera di wilayah hutan di kawasan ini yang menjadi habitat pentingnya.
4. Wisata religi (religious tourism) yang terkait dengan situs-situs keagaaman. Terdapat banyak situs-situs bersejarah terkait dengan penyebaran agama di wilayah ini. Sejarah masuknya agama Kristen Protestan oleh Zending di Tapanuli yang berpusat di Tarutung meninggalkan banyak situs yang saat ini menjadi tempat peziarahan umat Kristen.
Demikian halnya situs peninggalan penyebaran agama Katolik pertama kali di daerah Barus, agama Islam dari Sumatera Barat ke daerah Mandiling Natal, bahkan agama tradisional Parmalim yang diwariskan Sisingamangaraja merupakan potensi wisata religi yang bisa dikembangkan.
5. Wisata berbasis budaya (cultural tourism). Kawasan Danau Toba merupakan asal usul (bonapasogit) marga-marga dari beberapa sub-etnik Batak (Simalungun, Karo, Pak-Pak Dairi, Toba, dan Mandailing) yang kemudian berdiaspora di kawasan regional bahkan penjuru dunia. Tanah leluhur dari masing-masing sub-etnik dan marga tersebut masih eksis dan dapat ditemukan.
Tempat-tempat tersebut memiliki nilai historis yang unik dan dapat dijadikan sebagi pusat-pusat wisata budaya dan ditempatkan pada wilayah administrasi yang mewakilinya. Pusat budaya Simalungun di kembangkan di wilayah Kabupaten Simalungan yang merupakan representasi zona sub-etnik Simalungun. Demikian juga dengan sub-etnik lain, seperti Karo terfokus di Kabupaten Karo, dan yang lainnya.
Mencermati besarnya potensi wisata dan luasnya kawasan yang tercakup, maka pengembangan kawasan wisata Danau Toba sudah sewajarnya kegiatan ini melibatkan campur tangan Pemerintah Pusat dan kordinasi Pemda Propinsi dengan Pemda Kabupaten yang berdampak. Tidak hanya Kabupaten yang berbatasan dengan Danau Toba, namun juga di luar kawasan tersebut seperti Kabupaten Nias, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, bahkan Mandailing Natal.
Rancangan induk kawasan wisata Danau Toba berlandaskan tata ruang dan partisipasi pemangku kepentingan dalam memastikan pembangunan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan dan meminimalkan dampak negatif perlu dilakukan beberapa hal, di antaranya, Harmonisasi dan penyelarasan rancangan induk pembangunan wisata Danau Toba pada level Rencana Strategis Nasional dengan Rencana Tata Ruang Propinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Kabupaten (RTRWK). Setidaknya dua landasan hukum yang menjadi pegangan, yaitu UU Penataan Ruang No.26 Tahun 2007 dan Perda Tata Ruang Sumatera Utara No 7 Tahun 2003.
Di luar ketidaksempurnaan produk hukum ini, substansi yang ingin disampaikan jelas bahwa semua kegiatan pembangunan diselaraskan dengan UU Tata Ruang dan Perda Tata Ruang yang berlaku. Selanjutnya, karena pembangunan sifatnya sangat dinamis RTRWP dan RTRWK perlu dikaji kembali.
Kajian yang bersifat akademis perlu dilakukan agar terdapat kesesuaian terhadap kebutuhan dan kondisi saat ini. Dari sisi lingkungan hidup upaya untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan bencana, perlu penempatanan kegiatan pembangunan dilakukan selaras dengan arahan pola ruang. Sehingga, peruntukkan ruang dalam wilayah terdistribusi tepat pada fungsinya.
Selanjutnya, rencana induk pembangunan terintegrasi dengan kepentingan dan inisiatif pemangku kepentingan (stakeholder). Pemetaan semua pemangku kepentingan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kepentingannya masing-masing. Dari aspek budaya, pemangku kepentingan bisa diwakili oleh tokoh-tokoh adat dan individu yang berkompeten dalam adat dan budaya.
Dari aspek keagamaan, tokoh-tokoh agama maupun rohaniwan dapat mewakili kepentingan agama. Pemangku kebijakan diwakili oleh pemda, kepentingan swasta diwakili oleh pengusaha.
Dalam rencana induk, seluruh kepentingan dan inisiatif pemangku kepentingan terakomodasi dan disajikan sebagai informasi tematik yang relevan. Sebagai contoh, pemerintah daerah mewakili pemangku kebijakan memantau keselarasan kegiatan pembangunan dengan produk hukum yang dibuatnya, yaitu RTRWP dan RTRWK. Pengusaha mengintegrasikan batas-batas wilayah perizinan yang diberikan oleh Bupati/Walikota maupun Gubernur.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/presiden-joko-widodo-bersama-ibu_20160821_230826.jpg)