TRIBUN WIKI

Masjid Kedatukan Sunggal Serbanyaman, Saksi Sejarah Perlawanan Belanda

Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman adalah masjid bersejarah yang dibangun tahun 1885 oleh seorang Raja Sunggal.

Editor: Array A Argus
Tribun Medan
Potret bangunan Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman, saksi sejarah perjuangan melawan Belanda. 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Di Kota Medan, terdapat sejumlah bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Satu diantara bangunan bersejarah di Medan yang masih ada dan tetap bertahan adalah Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman.

Masjid ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Sunggal.

Bahkan, usianya sudah lebih dari ratusan tahun.

Baca juga: Masjid Lama Gang Bengkok, Saksi Sejarah Perkembangan Islam di Kota Medan

Sejak berdiri pada tahun 1885, Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman ini masih dirawat oleh generasi dari Raja Kerajaan Sunggal.

Bahkan, beberapa bagian sudah kelihatan direnovasi.

Saat Tribun-medan.com menyambangi Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman ini pada Selasa (7/10/2025), bagian yang terlihat sudah semakin bagus adalah toiletnya.

Bagian toilet diperbaharui untuk memudahkan jemaah melaksanakan salat.

Masjid Kedatukan Sunggal yang berada di Jalan PDAM Sunggal, Kecamatan Sunggal, Kota Medan.
Masjid Kedatukan Sunggal yang berada di Jalan PDAM Sunggal, Kecamatan Sunggal, Kota Medan. (TRIBUN MEDAN/ANUGRAH)

Baca juga: Sejarah Hamparan Perak, Kampung yang Dibuka Datuk Setia Raja Tahun 1823

Jemaah yang akan salat biasanya akan mengambil wudhu dan membersihkan hadas di toilet yang ada di sisi kanan bangunan.

Kini, toiletnya sudah diperbaharui.

Ada bak yang disemen dan dilapisi keramik, tempat jemaah mengambil wudhu.

Terdapat sejumlah kran air.

Bahkan, ada juga kolam ikan kecil di depan area toilet.

Baca juga: Sejarah Bangunan Balai Kota Lama Medan yang Kini Jadi Hotel Grand City Hall Medan

Sejarah Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman

Datuk Indra Jaya, pengurus Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman pernah bercerita pada Tribun-medan.com tahun 2022 lalu.

Ia menjelaskan, bahwa Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman ini didirikan oleh Raja Sunggal bernama Datuk Badiuzzaman Surbakti.

Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah seorang tokoh penting dalam sejarah wilayah Sunggal, yang lahir pada tahun 1845 di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal.

Baca juga: Sejarah Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang Sudah Berdiri Satu Abad yang Dilaporkan Ambruk

Ia adalah Raja Sunggal (Urung Serbanyaman) dan pemimpin perjuangan melawan penjajahan Belanda dalam Perang Sunggal yang berlangsung antara tahun 1872 hingga 1895.

Datuk Badiuzzaman Surbakti berasal dari marga Surbakti, yaitu satu diantara marga dalam suku Batak Karo yang berada dalam induk marga Karokaro. 

Marga Surbakti ini memiliki wilayah ulayat yang meliputi daerah seperti Surbakti, Torong, Gajah, Jumaraja, Pancurbatu, Kutalimbaru, hingga Langkat. 

Mengenai pembangunan Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman, Datuk Indra Jaya mengatakan pembangunannya dimulai tahun 1885.

Baca juga: Sejarah Ponpes Al Khoziny Sidoarjo yang Sudah Berdiri Satu Abad yang Dilaporkan Ambruk

Makam yang ada di sekitar Masjid Kedatukan Sunggal
Makam yang ada di sekitar Masjid Kedatukan Sunggal (TRIBUN MEDAN/ANUGRAH)

Pada masa itu, pembangunan masjid yang digagas dan diprakarsai Raja ke VII Kerajaan Sunggal itu sempat ditentang oleh Belanda.

Belanda melarang pembangunan masjid menggunakan semen.

Karena pelarangan itu, Raja Sunggal Datuk Diraja Badiuzzaman Sri Indra Pahlawan Surbakti kemudian memutuskan pembangunan masjid menggunakan putih telur sebagai perekat campuran pasir dan tanah.

Sejak saat itu, bangunan masjid berdiri kokoh.

Keberadaannya menjadi tempat ibadah sekaligus musyawarah dan pusat kegiatan masyarakat sekitar.

"Di sinilah tempat berkumpulnya orang-orang kerajaan saat itu untuk melawan Belanda," kata Datuk Indra Jaya. 

Baca juga: Sejarah G30S PKI, Kisah Kelam yang Menewaskan Sejumlah Jenderal TNI

Arsitektur yang Unik

Masjid Raya Kedatukan Sunggal Serbanyaman ini memiliki perpaduan gaya arsitektur yang unik.

Bangunan didirikan dengan arsitektur peraduan khas budaya Karo dan Melayu dengan ornamen dan warna khas.

Terdapat enam jendela besar dengan dominasi warna hijau dan kuning.

Empat pilar hijau menjadi penyangga utama sekaligus ornamen khas masjid.

Baca juga: Legenda Meriam Puntung: Warisan Sejarah Putri Hijau yang Tersisa di Sumatera Utara

Lokasinya berdampingan dengan instalasi PDAM Tirtanadi, menjadikannya titik penting di kawasan Sunggal.

Karena masjid ini termasuk bangunan bersejarah, kawasan ini kemudian dijadikan cagar budaya yang diusulkan untuk pelestarian sebagai warisan sejarah dan budaya.

Hubungan dengan Kesultanan Deli

Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan tokoh penting bagi Kerajaan Sunggal.

Ia juga memiliki keterkaitan dengan Kesultanan Deli melalui hubungan pernikahan.

Tahun 1632, Datuk Badiuzzaman Surbakti menikahkan adiknya yang bernama Puteri Nan Baluan Beru, dengan Sri Paduka Gocah Pahlawan, tokoh pendiri Kesultanan Deli.

Baca juga: Sejarah Siantar Hotel, Saksi Bisu Kota Siantar Sejak Masa Kolonial

Pernikahan ini menjadi simbol ikatan politik dan sosial yang menguatkan hubungan antara Kerajaan Sunggal (Urung Serbanyaman) dan Kesultanan Deli.

Dalam adat Batak, kerabat pihak kerabat perempuan (kalimbubu) memiliki kedudukan lebih tinggi daripada pihak mempelai laki-laki (anak boru), yang artinya Kerajaan Sunggal adalah kalimbubu (mertua) bagi Kesultanan Deli sebagai anak boru (menantu).

Namun, relasi ini kemudian mengalami perubahan setelah Kesultanan Deli membangun komunikasi dengan Belanda.

Datuk Badiuzzaman Surbakti menentang hal itu.

Ia mengambil sikap tegas melawan Belanda.

Baca juga: 10 Masjid Tertua di Indonesia yang Menjadi Sejarah Perjalanan Islam di Nusantara

Sebab, Belanda pada masa itu ingin merampas tanah rakyat untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau.

Karena sikap Belanda yang arogan, Datuk Badiuzzaman Surbakti beserta pengikutnya tegas melakukan perlawanan.

Perang pun pecah antara tahun 1872 hingga 1895.

Perang ini kemudian dikenal sebagai Perang Sunggal.

Selama 23 tahun, Datuk Badiuzzaman Surbakti yang didukung suku lain seperti Karo, Melayu, Aceh, dan Gayo melakukan taktik grilya melawan Belanda.

Ia menjadi pejuang militan, walaupun harus berseberangan sikap politik dengan Kesultanan Deli yang membangun relasi dengan Belanda.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved