TRIBUN WIKI
Legenda Meriam Puntung: Warisan Sejarah Putri Hijau yang Tersisa di Sumatera Utara
Meriam Puntung adalah peninggalan sejarah di Sumatera Utara yang masih ada hingga saat ini.
MEDAN, TRIBUN-MEDAN.com – Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan warisan sejarah dan legenda.
Setiap daerah memiliki kisah unik yang diwariskan turun-temurun, tak terkecuali Sumatera Utara.
Salah satu legenda yang paling dikenal di wilayah ini adalah kisah Putri Hijau, sebuah cerita epik yang hingga kini masih meninggalkan jejak sejarah nyata berupa Meriam Puntung.
Baca juga: Sejarah Siantar Hotel, Saksi Bisu Kota Siantar Sejak Masa Kolonial
Meriam Puntung bukan hanya dapat ditemukan di Istana Maimun, Kota Medan, tetapi juga ada satu bagian peninggalannya yang tersimpan di Desa Sukanalu, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo.
Lokasinya berada sekitar 20 kilometer dari destinasi wisata populer Berastagi dan dapat dicapai dalam waktu sekitar 2,5 jam perjalanan dari Kota Medan, melalui jalur Desa Tongkoh menuju Barusjahe.
Lokasi Meriam Puntung di Karo
Berdasarkan pantauan Tribun-Medan.com, meriam legendaris ini terletak di ujung Desa Sukanalu, di bawah naungan pepohonan besar.
Saat ini, meriam disimpan dalam tempat khusus yang dikelilingi pagar besi untuk menjaga kelestariannya.
Menurut Maslela br Tarigan, penjaga situs sejarah tersebut, bagian meriam yang ada di Karo ini diyakini sebagai pecahan dari meriam utama yang berada di halaman Istana Maimun, Medan.
Baca juga: 10 Masjid Tertua di Indonesia yang Menjadi Sejarah Perjalanan Islam di Nusantara
Asal-Usul Meriam Puntung: Kisah Mistis Keluarga Putri Hijau
Legenda menyebutkan bahwa Putri Hijau berasal dari Desa Seberaya, yang berada di dekat hulu Sungai Petani (sekarang dikenal sebagai Sungai Deli).
Putri ini memiliki dua saudara laki-laki kembar: Mambang Yazid, yang konon bisa berubah menjadi naga (Ular Simangombus), dan Mambang Khayali, yang bisa menjelma menjadi meriam, kemudian dikenal sebagai Meriam Puntung.
Dalam cerita rakyat tersebut, sang putri dilamar oleh seorang pangeran, namun memberikan syarat berat: pangeran harus menyediakan hati lembu setiap hari untuk saudaranya. Karena syarat ini sulit dipenuhi dalam jangka panjang, sang putri akhirnya pergi ke wilayah Hamparan Perak.
Baca juga: Masjid dan Rumah Sejarah MTQ Pertama di Indonesia, Kini Masuk Sebagai Cagar Budaya Pemkab Asahan
Di sana, seorang pria dari Kerajaan Aceh yang terpesona oleh kecantikannya, berniat meminangnya.
Namun, ketika lamarannya ditolak, Sultan Aceh murka dan menganggap penolakan itu sebagai penghinaan.
Ia kemudian mengirim pasukan untuk menyerang Kesultanan Deli.
Dalam pertempuran besar tersebut, Mambang Khayali menjelma menjadi meriam dan menembaki pasukan Aceh dengan peluru emas dan perak.
Namun, karena terus digunakan tanpa henti, meriam tersebut memanas dan akhirnya meledak hingga terpecah menjadi dua bagian.
Baca juga: Sejarah Kodak, Pionir dalam Bidang Fotografi yang Kini Terancam Bangkrut
Dua Bagian Meriam Puntung: Medan dan Karo
Salah satu bagian utama dari meriam tersebut akhirnya ditemukan di Labuhan Deli dan kini disimpan di Istana Maimun, Medan.
Sedangkan bagian lainnya, yaitu moncong meriam, tercampak ke Desa Sukanalu di Tanah Karo, di mana kini menjadi salah satu situs budaya yang dijaga masyarakat setempat.
Menurut cerita turun-temurun, meriam itu “haus” dan hampir memenangkan pertempuran.
Namun karena dipaksa terus menembak, akhirnya pecah.
Mitos dan Kepercayaan Masyarakat
Ada satu keunikan yang masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar: pengunjung yang datang biasanya diminta mencoba mengangkat Meriam Puntung.
Konon, hanya mereka yang memiliki niat dan hati yang tuluslah yang dapat mengangkat meriam tersebut.(tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/seorang-juru-kunci-meriam-puntung-maslela-bru-tarigan.jpg)