Berita Medan

Luka yang Menyalakan Panggung, Kisah Desy Qobra Guru, Jadikan Teater sebagai Rumah

Sebagian besar waktu ia ditemani pengasuh. Dari sanalah, ia justru lebih sering belajar tentang rasa sakit.

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
DOKUMENTASI
Desy Ariani 

Momen itulah yang ia sebut sebagai detik ketika ia benar-benar jatuh cinta pada teater pada cahaya lampu, energi penonton, dan napas pertunjukan yang bergerak serempak dengan jantungnya.

Sejak saat itu, panggung bukan lagi sekadar tempat tampil. Panggung menjadi rumah.

Lingkungan UNIMED ia sebut sebagai salah satu ruang yang paling membentuk dirinya sebagai seniman panggung. Dosen-dosen yang tegas, disiplin, dan menghargai waktu tanpa sadar menanamkan karakter penting dalam dirinya tepat waktu latihan, tepat waktu menghafal naskah, tepat waktu memahami proses.

Teater LKK UNIMED memberi ruang bagi Desy untuk belajar, jatuh, bangkit, dan bereksperimen. Dari panggung kampus hingga panggung luar kampus, setiap kesempatan tampil menambah lapisan baru dalam prosesnya.

Bukan hanya latihan formal, pengalaman-pengalaman kecil ia rekam dalam kepala mahasiswa yang berlari di lorong karena takut terlambat, penari yang mengulang gerak di open stage, calon anggota baru yang dibentuk seniornya, dosen dengan peluit memantau ujian praktik. Semua itu ia rangkai diam-diam menjadi potongan naskah, blocking, hingga bayangan panggung.

Tanpa disadari, kebiasaan ini melatih kepekaannya membaca tokoh, ritme adegan, hingga gerak halus aktor. Dari situlah ia belajar membaca naskah lebih dalam dan menyutradarai dengan lebih jernih.

Desy pernah menekuni berbagai bidang seni menari, membaca, dan berbagai lomba. Namun teater selalu menjadi rumah yang paling ia pilih.

Dalam tari, ia belajar disiplin gerak. Dalam membaca, ia belajar mencintai kata. Di teater, semuanya menyatu tubuh, suara, dan hati ikut menafsirkan hidup.

Sebagai aktor monolog, Desy merasakan langsung beratnya berdiri sendirian di panggung tanpa partner dialog, tanpa lawan main, tanpa siapa pun yang bisa menolong jika tiba-tiba pikiran kosong.

Dalam monolog, ia harus menjadi sumber energi itu sendiri. Menjadi pemeran, narator, penggerak konflik, dan penopang ritme sekaligus. Ia harus membuat penonton percaya pada dunia yang diciptakannya: bahwa ada tokoh lain meski tak terlihat, ada rumah meski tak dibangun, ada percakapan meski ia hanya berbicara seorang diri.

Tantangan lain datang dari dalam diri. Menjelang naik panggung, ia kerap memutar ulang adegan dalam kepala, bahkan mengalami “mencret dadakan” saking tegangnya. Namun justru di situlah monolog membuatnya paling jujur tak ada tempat bersembunyi, tapi juga tak ada yang menahan.

Setiap monolog menjadi kemenangan kecil ketika ia berhasil membuat satu tubuh di panggung terasa cukup untuk menciptakan dunia.

Menjaga Api Teater Medan

Tentang perkembangan teater di Medan, Desy melihatnya berada di fase yang menarik. Komunitas teater bermunculan, panggung alternatif mulai dibuka, dan generasi muda berani mengeksplorasi berbagai bentuk dari teater tradisi, realis, hingga yang memadukan multimedia.

Ia menyadari tantangan masih besar penyegaran naskah, regenerasi aktor, keterbatasan ruang latihan, hingga dukungan dana. Namun bagi Desy, justru di situlah keindahannya. Teater di Medan tumbuh bukan karena fasilitas, melainkan ketekunan dan cinta para pelakunya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved