Berita Medan
Luka yang Menyalakan Panggung, Kisah Desy Qobra Guru, Jadikan Teater sebagai Rumah
Sebagian besar waktu ia ditemani pengasuh. Dari sanalah, ia justru lebih sering belajar tentang rasa sakit.
Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
Ketika namanya dipanggil sebagai pemenang, Desy berdiri di panggung dengan perasaan yang sulit digambarkan. Bukan sekadar bahagia atau bangga. Di dalam hati, ada bisikan “Lihat… aku bisa. Aku benar-benar bisa.”
Tak ada pelukan dramatis atau air mata di barisan keluarga. Namun bagi Desy, malam itu menandai satu hal penting bahwa mimpi bukan untuk diminta restunya, mimpi diperjuangkan sampai dunia mau memberi ruang.
Desy adalah putri pasangan Ilham dan Rohima. Dari orang tuanya, ia belajar dua hal besar yakni kemandirian dan keteguhan.
Dari ibunya, ia belajar bahwa jika benar-benar menginginkan sesuatu, ia harus berjuang sendiri tanpa menunggu orang lain membuka jalan.
Dari ayah dan keluarga, ia belajar bertahan sampai akhir, karena dukungan sering baru datang ketika seseorang tidak berhenti melangkah.
Ia tidak menyimpan dendam pada pilihan atau sikap orang tuanya di masa lalu. Desy memaknainya sebagai bentuk kasih sayang dengan cara yang mereka pahami. Justru dari situ ia tumbuh menjadi pribadi yang berani memperjuangkan mimpi meski langkah pertama harus diambil sendirian.
//Merantau ke Medan Menemukan Rumah Bernama Teater
Keinginan kuliah di luar kota tidak pernah berjalan mulus. Sejak kelas 3 Aliyah, orang tua berkali-kali menekankan agar ia kuliah di kampung halaman. Desy memilih diam. Bukan karena setuju, tetapi karena tidak ingin perdebatan itu berubah menjadi luka baru.
Akhirnya, ia memilih Program Studi PGSD Universitas Negeri Medan (UNIMED). Bukan karena sejak awal ingin menggabungkan pendidikan dan seni, tetapi karena ia punya satu tujuan sederhana, ia harus lulus agar bisa meraih kebebasan.
Jurusan apa pun tidak terlalu penting baginya saat itu. Orang tua ikut menentukan pilihan, terutama ibu yang berpikir bahwa menjadi guru SD berarti bisa lebih cepat pulang.
Bagi Desy, bukan soal cepat pulang. Ia ingin meraih kebebasan yang selama ini dirasa tidak pernah benar-benar ia punya kebebasan untuk tampil, berkarya, dan menjadi diri sendiri. Di UNIMED, ia menemukan ruang itu.
Pertemuan pertama Desy dengan teater terjadi pada 2013, saat mengikuti PAMB di UNIMED. Ia duduk di tribun lantai dua Gedung Serbaguna, menyaksikan para senior tampil dengan kostum megah dan peran yang mereka hidupi sepenuh jiwa.
Dari kursi jauh di atas, ada suara dalam diri yang berteriak.
“Suatu hari, aku yang akan berdiri di sana. Aku yang akan ditonton ribuan pasang mata itu,” ungkapnya.
Tak lama kemudian, ia mendaftar ke Teater LKK UNIMED. Di sana, ia justru langsung dipercayakan menjadi pemeran utama kabaret di hadapan ribuan mahasiswa baru tahun 2014–2015.
| Wali Kota Rico Edukasi Tanggap Gempa Sejak Usia Dini: Indonesia di Ring of Fire |
|
|---|
| Evaluasi PAD, Wali Kota Soroti Kinerja Kadis Perkim dan Pajak Mamin, Hiburan, PBB |
|
|---|
| Eks Kadis Perkim Medan Diperiksa Kejari Dugaan Korupsi Proyek Rusunawa |
|
|---|
| Polrestabes Medan Gelar Sumpah dan Pakta Integritas untuk 246 Calon Bintara Brimob |
|
|---|
| KAI Bandara Latih Petugas Srilelawangsa Demi Layanan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Desy-Ariani.jpg)