Berita Medan

Bacakan Pledoi, Akuang Sebut Tak Ada Kuasai Lahan Hutan Langkat, Minta Dibebaskan

Dalam pledoi setebal ratusan halaman itu, tim kuasa hukum menyampaikan empat pokok utama yang menjadi dasar permohonan pembebasan.

Penulis: Anugrah Nasution | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/ANUGRAH
PERAMBAHAN HUTAN - Dedi Suheri saat diwawancarai usai membacakan pledoi terdakwa Akuang dalam kasus perambahan suaka margasatwa di Langkat, Rabu (16/7/2025). 

TRIBUN-MEDAN. com, MEDAN- Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi penguasaan lahan di Kabupaten Langkat, Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, memohon kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan agar membebaskannya dari segala dakwaan jaksa penuntut umum.

Permintaan tersebut disampaikan melalui nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan Dedi Suheri bersama Fuad Said Nasution dan Novel Suhendri selaku penasihat hukum Alexander dalam sidang lanjutan perkara dengan nomor register 138/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Mdn. 

Dalam pledoi setebal ratusan halaman itu, tim kuasa hukum menyampaikan empat pokok utama yang menjadi dasar permohonan pembebasan.

Pertama soal locus perkara bukan merupakan kawasan hutan, sertifikat hak milik belum pernah dibatalkan, perhitungan kerugian keuangan negara dinilai serampangan, dan penegakan hukum terhadap terdakwa tidak sesuai dengan asas lex favor reo," kata Dedi, Rabu (16/7/2025). 

Dedi mengklaim,  bahwa lahan yang menjadi objek perkara tidak memenuhi syarat sebagai kawasan hutan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang Cipta Kerja, harus melalui tahapan resmi seperti penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan oleh Menteri Kehutanan.

"Dalam dakwaan dan tuntutan, penuntut umum tidak menyebutkan adanya keputusan menteri yang menetapkan secara sah lahan tersebut sebagai kawasan hutan.

Oleh karena itu, menyebutnya sebagai kawasan hutan adalah tindakan prematur," lanjutnya. 

Selain itu, lahan yang dimaksud memiliki Nomor Objek Pajak (NOP) dan telah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang menurut undang-undang tidak berlaku terhadap kawasan hutan lindung, suaka margasatwa, dan tanah negara yang belum dibebani hak.

Penasihat hukum menyatakan bahwa sebanyak 60 bidang tanah yang dikuasai Alexander memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah secara hukum dan belum pernah dibatalkan atau dicabut oleh pejabat berwenang, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat atau Kementerian ATR/BPN.

"Seluruh sertifikat tersebut terdaftar secara resmi dan tidak ada satu pun yang dibatalkan. Jika pun terdapat persoalan administrasi, seharusnya diselesaikan melalui mekanisme perdata atau tata usaha negara, bukan pidana," tegas Dedi. 

Dedi juga mempertanyakan mengapa hanya sebagian SHM milik Alexander yang dipermasalahkan, padahal terdapat sertifikat lain yang terbit sejak tahun 1974 dan 1975 di lokasi yang sama yang tidak dijadikan objek perkara.

Terkait tuduhan kerugian keuangan negara, penasihat hukum menilai perhitungan yang dilakukan penuntut umum bersama auditor negara dilakukan secara serampangan, tanpa metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan akademis.

Menurut ahli yang dihadirkan pihak terdakwa, laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak layak dijadikan dasar penetapan kerugian keuangan negara karena tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

“Kerugian yang dimaksud bersifat asumtif, tidak berbasis data riil, dan bahkan terdapat penghitungan ganda antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara," ujar Dedy. 

Disebutkan juga bahwa kerugian negara tidak bisa dihitung dari asumsi keberadaan tegakan pohon yang hilang, apalagi jika lahan tersebut sudah berupa kebun sawit sebelum dikuasai Alexander. 

Selain itu, kerugian perekonomian negara yang dimasukkan ke dalam tuntutan penuntut umum dinilai tidak memiliki dasar hukum karena tidak dikenal dalam sistem hukum positif Indonesia.

Dedi juga menyebutkan tidak diterapkannya asas lex favor reo dalam perkara ini.

Asas tersebut menyatakan bahwa dalam hal terdapat perubahan atau perbedaan pengaturan hukum, maka yang paling menguntungkan bagi terdakwa yang harus digunakan.

Menurut kuasa hukum, perkara ini semestinya ditangani melalui pendekatan administratif sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.

"Pemerintah saat ini mendorong penyelesaian sengketa lahan di kawasan hutan dengan pendekatan persuasif dan administratif, bukan pidana. Bahkan, dalam kasus-kasus lain, pemilik lahan di kawasan hutan diberi kesempatan untuk menyerahkan secara sukarela atau memohon legalisasi,” ujar kuasa hukum.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Alexander Halim dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

Selain itu, jaksa juga meminta agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp856.801.945.550 yang terdiri atas kerugian keuangan negara, keuntungan ilegal, dan kerugian perekonomian negara.

Alexander didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

(cr17/tribun-medan.com) 

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan

 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved