Delegasi Sumut Sambangi Tiongkok
Pesona Muslim Uyghur: Harmoni Kehidupan dalam Keberagaman Budaya dan Keyakinan
Dari sekitar 50 etnis yang mendiami wilayah ini, suku Uyghur menjadi kelompok mayoritas, mencakup lebih dari separuh populasi
Oleh: Dr Abrar M Dawud Faza SFil MA
Wakil Rektor II UIN Sumatera Utara
XINJIANG, sebuah wilayah otonom di barat laut Tiongkok, merupakan kawasan yang tidak hanya luas secara geografis, tetapi juga kaya akan keanekaragaman etnis dan budaya.
Dari sekitar 50 etnis yang mendiami wilayah ini, suku Uyghur menjadi kelompok mayoritas, mencakup lebih dari separuh populasi.
Di tengah keberagaman ini, kehidupan umat Islam di Xinjiang menunjukkan wajah harmoni yang tak banyak disorot secara adil oleh pemberitaan luar.
Kunjungan rombongan tokoh-tokoh Muslim dari Indonesia ke Xinjiang menjadi salah satu pintu pembuka untuk melihat dari dekat bagaimana kehidupan beragama, khususnya Islam, tetap tumbuh dan dijaga di tengah dinamika sosial-politik yang kompleks.
Baca juga: Senyum Muslim Hui dan Pesona Masjid Berusia 700 Tahun di Zhengzhou
Baca juga: Rektor UINSU Prof Nurhayati: Muslim Hui di Zhengzhou Tiongkok Luar Biasa
Islam sendiri telah masuk ke Xinjiang sejak abad ke-10 melalui jalur perdagangan dan dakwah dari Asia Tengah, terutama oleh para pedagang dan ulama dari wilayah Persia dan Turki.
Uyghur yang sebelumnya menganut Buddhisme kemudian berangsur memeluk Islam. Sejak saat itu, Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Uyghur. Masjid, madrasah, dan tradisi keislaman berkembang pesat selama berabad-abad, menjadikan Xinjiang sebagai salah satu pusat peradaban Islam di Tiongkok.
Salah satu hal menarik yang tampak dari kunjungan ke Xinjiang adalah penggunaan dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari: bahasa Mandarin dan bahasa Arab Latin Uyghur. Penulisan nama jalan, tempat ibadah, sekolah, hingga pasar dilakukan dengan dua aksara ini, mencerminkan bagaimana unsur keislaman menjadi bagian dari identitas publik wilayah ini.
Bahasa Arab Latin Uyghur mengingatkan kita pada aksara Jawi di Melayu, yang juga merupakan adaptasi dari Arab untuk menyampaikan budaya lokal.
Rombongan tokoh Muslim Indonesia sempat mengunjungi Institut Agama Islam Xinjiang, yang menjadi bukti nyata bagaimana pendidikan Islam terus berlanjut. Dengan fasilitas lengkap, seperti asrama, ruang belajar, masjid, dan dapur umum, institusi ini menjadi rumah bagi seribu lebih mahasiswa.
Baca juga: Mendialogkan Moderasi Beragama di Tiongkok
Semua biaya ditanggung oleh pemerintah, menunjukkan bahwa negara turut berperan aktif dalam menjaga keberlangsungan pendidikan agama.
Pertemuan dengan para tokoh penting di wilayah ini seperti Mr Duan Yongzhong (wakil direktur jenderal departemen kerja Front Persatuan), Mr Bai Shengfu dan Mr Abdushiker Ramatulla (tokoh Majelis Ulama), memperlihatkan bagaimana struktur formal keagamaan juga terlibat dalam mendampingi umat.
Bahkan Mr Abdushiker merupakan imam masjid besar Urumqi sekaligus anggota dewan perwakilan rakyat daerah, yang memperlihatkan keterlibatan aktif umat Islam dalam pemerintahan dan pengambilan kebijakan.
Masjid Putih di Urumqi menjadi salah satu simbol penting kehidupan keagamaan yang hidup dan dijaga. Di masjid-masjid seperti ini, umat Islam tidak hanya melaksanakan ibadah, tapi juga menjadikannya sebagai pusat aktivitas sosial dan pendidikan.
Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, simbol-simbol Islam seperti tulisan Arab dan toko-toko halal sangat mudah ditemukan. Warna hijau pada papan nama toko menjadi penanda umum bagi usaha milik Muslim yang menjajakan makanan halal.
Yang lebih mencolok, kehidupan ekonomi di Xinjiang sangat dinamis. Berbeda dari gambaran keliru yang sering beredar, masyarakat di sini hidup sejahtera. Pasar-pasar ramai, baik yang modern maupun tradisional.
Mobil pribadi berseliweran, menunjukkan tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi. Pemerintah pun terus mendukung fasilitas publik dan kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam aspek keberagamaan.
Opini negatif yang sering menyudutkan perlakuan terhadap Muslim Uyghur, menurut hasil observasi rombongan, tidak sepenuhnya tepat. Justru umat Islam di Xinjiang hidup berdampingan secara damai dan berkontribusi aktif dalam pembangunan.
Adapun gejolak yang terjadi, umumnya bersumber dari pengaruh luar dan kelompok tertentu yang mencoba memprovokasi ketidakstabilan, bukan dari keinginan masyarakat lokal.
Menariknya, identitas etnis di Xinjiang mencerminkan pertemuan lintas budaya. Banyak warga memiliki wajah khas Asia Tengah—hidung mancung, kulit bervariasi, dan mata sipit yang menjadi ciri khas perpaduan darah Turki, Arab, dan Han.
Wajah Xinjiang adalah wajah persilangan budaya dan agama, di mana Islam tidak berdiri sendiri, tetapi membaur dengan identitas multikultural.
Bandara Urumqi sendiri telah dilengkapi dengan tulisan-tulisan Arab, yang menjadi bukti bahwa budaya Islam diakomodasi dalam ruang-ruang publik. Simbolisme ini memperkuat narasi bahwa Islam di Xinjiang bukanlah tamu, melainkan bagian integral dari denyut sejarah dan budaya lokal.
Melihat kenyataan di lapangan, kehidupan umat Islam di Xinjiang jauh dari gambaran represif yang sering dikampanyekan oleh media asing.
Sebaliknya, harmoni, kebebasan menjalankan ibadah, serta keterlibatan aktif dalam masyarakat menjadi narasi utama yang patut disebarluaskan.
Perjalanan ini menunjukkan bahwa umat Islam di Xinjiang bukan hanya mampu mempertahankan eksistensinya, tetapi juga menjadi contoh kehidupan beragama yang mempesona di tengah keberagaman budaya.(*)
| Penggunaan Kendaraan Listrik dalam Perspektif Kesehatan dan Lingkungan di Tiongkok |
|
|---|
| Muslimah Tiongkok Menginspirasi, Padukan Nilai-nilai Islam dengan Budaya Lokal |
|
|---|
| Suara Senyap Islam di Xinjiang |
|
|---|
| Muslim Tiongkok Cinta Kepada Negara Atas Dasar Agama |
|
|---|
| Beijing dan Dongsi: Simbol Pluralisme Agama di Negeri Tirai Bambu |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Masjid-Putih-Xinjiang.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.