Breaking News

Sumut Terkini

Tim Ekspedisi Tinjau Aliran Banjir Bandang Parapat, Begini Hasil Temuannya

Sejumlah pihak yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat menelusuri lokasi aliran banjir bandang Parapat.

Penulis: Maurits Pardosi | Editor: Randy P.F Hutagaol
DOK/KSPPM dan AMAN Tano Batak
BANJIR PARAPAT: Sejumlah pihak yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat menelusuri lokasi aliran banjir bandang Parapat.Pada Sabtu (22/3/2025), Tim Ekspedisi ini melakukan penelusuran langsung alur atau jejak (tracing) longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau Hutan Simarbalatuk - Sitahoan. 

TRIBUN-MEDAN.com, BALIGE - Sejumlah pihak yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat menelusuri lokasi aliran banjir bandang Parapat.

Tim Ekspedisi terdiri dari akademisi, rohaniawan, serta aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.

Pendeta Jurito Sirait, Dr. Dimpos Manalu dari akademisi, perwakilan KSPPM Parapat dan AMAN Tano Batak antara lain: Rocky Pasaribu, Iwan Samosir, Bona, Darma, Susi Halawa, Delima Padang, Lambok, Iwan Pakpahan, Yanwar, Lontas, Maruli, Aris, Delima Silalahi, Benni, Anugerah, dan Dewi Sirait melaksanakan perjalanan menyusuri aliran banjir bandang Parapat.

Koordinator Study dan Advokasi KSPPM Rocky Pasaribu menjelaskan apa yang mereka temukan dalam penelusuran tersebut.

"Alih fungsi hutan besar-besaran serta menurunnya daya dukung dan daya tampung hutan di bentang alam Simarbalatuk - Sitahoan - Sibatuloting, merupakan penyebab banjir bandang di Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara," tulisnya dalam keterangan tertulis yang diperoleh tribun-medan.com pada hari ini, Senin (24/3/2025).

Pada Sabtu (22/3/2025), Tim Ekspedisi ini melakukan penelusuran langsung alur atau jejak (tracing) longsor dari Bangun Dolok hingga harangan atau Hutan Simarbalatuk - Sitahoan. Ekspedisi ini bertujuan mengobservasi secara langsung penyebab banjir bandang yang melanda Kota Parapat pada 16 Maret 2025 lalu.

"Tim memulai perjalanan dari harangan Bangun Dolok, mengikuti aliran Sungai Batu Gaga, yang membanjir-bandangi Kota Parapat. Selama perjalanan, tim menemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat setempat," terangnya.

"Namun, sistem perladangan tersebut bersifat agroforestri, yang didominasi tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, durian, salak, yang masih berdampingan dengan pohon-pohon alam," sambungnya.

Di kebun-kebun dan perladangan itu, pihaknya melihat sejumlah sopo (gubuk) dan binatang peliharaan.

Dari hulu Sungai Batu Gaga, tim melanjutkan perjalanan menuju Harangan Simarbalatuk.

"Di lokasi ini, tepat di ketinggian sekitar 1.100-1.200 mdpl, tim sudah menemukan alur longsor yang memuncak di ketinggian 1.500 mdpl. Panjang longsor sekitar 300 hingga 400 meter, lebar 4 hingga 5 meter, dan kedalaman 3 hingga 4 meter," tuturnya.

Ia jelaskan, material longsor terdiri dari batu besar, sedang, dan kecil yang bercampur dengan sebagian tanah liat dan lapisan tanah gembur.

Di sepanjang alur longsor juga melintang sejumlah kayu besar dan kecil, yang dalam jangka panjang dikuatirkan akan membentuk kolam-kolam air, yang dapat menimbulkan banjir-bandang berikutnya.

"Berdasarkan pengukuran menggunakan Avenza Maps, lokasi longsor ini berada pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga hingga tempat meluapnya air sungai pada 16 Maret lalu," terangnya.

"Sepanjang perjalanan dari hulu Sungai Batu Gaga hingga titik longsor di Simarbalatuk, tim tidak menemukan adanya aliran sungai di area longsor. Dengan kata lain, alur longsor ini tidak mengikuti aliran sungai atau anak sungai. Ia merupakan aliran baru, yang pada akhirnya menyatu di Sungai Gaga," terangnya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved