Sumut Terkini

Jalan Menuju Ladang dan Hutan Adat Diblokir, KSPPM Beberkan Kerugian Masyarakat Adat Nagasaribu

Hal ini menyita perhatian petinggi gereja yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Kemarin, Minggu (16/2/2025)

Penulis: Maurits Pardosi | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/ FB Victor Tinambunan
KONFLIK- Ephorus HKBP sedang berada di portal di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, Minggu (16/2/2025). 

TRIBUN-MEDAN.com, TARUTUNG - Masyarakat Hukum Adat Nagasaribu terganggu dengan adanya pemblokiran akses masyarakat menuju ladang dan hutan adat.

Hal ini menyita perhatian petinggi gereja yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara. Kemarin, Minggu (16/2/2025), Ephorus HKBP Pendeta Victor Tinambunan sambangi lokasi yang diportal TPL tersebut di Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara.

Kehadiran petinggi di HKBP tersebut telah didahului oleh petinggi Gereja HKI.

Tentu hal ini menjadi penyemangat bagi warga sekitar karena gereja telah memberikan perhatian khusus pada kondisi masyarakat adat yang mengalami intimidasi.

Koordinator Study dan Advokasi KSPPM Rocky Pasaribu  mengutarakan, selain HKBP, Ephorus HKI menyatakan secara tegas keberpihakannya pada warga yang terpinggirkan dan termajinalkan.

"Ini menjadi kabar yang menggembirakan bahwa pihak gereja memperlihatkan keberpihakannya terhadap masyarakat yang terintimidasi. Masyarakat adat Nagasaribu adalah simbol keadaan masyarakat saat ini yang berkonflik dengan TPL," sambungnya.

"Tanggal 11 Februari yang lalu ada kunjungan pastoral dari 7 gereja. Satu diantaranya adalah Gereja HKI. Pimpinan tertinggi HKI atau Ephorus sangat tegas menyatakan keberpihakan terhadap masyarakat yang terpinggirkan dan termarjinalkan," ungkapnya.

"Hal ini menjadi penyemangat bagi masyarakat adat Nagasaribu dan masyarakat adat lainnya," sambungnya.

"Berulang masyarakat menyampaikan kepada pihak gereja soal kondisi mereka setelah akses ke kadang mereka atau hutan mereka diblokir. Dampaknya, mereka tak berani lagi ke hutan untuk mengambil hasil hutan, kemenyan," tuturnya.

Selanjutnya, ia juga menyampaikan efek pemblokiran akses tersebut terhadap masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari hasil hutan dan ladang.

Hutan kemenyan menjadi mata pencaharian sehari-hati masyarakat adat di Nagasaribu. Konflik dengan TPL mengakibatkan masyarakat adat tak berani pergi hutan atau areal perladangan selama sebulan.

"Hal ini juga berefek terhadap ekonomi warga atau masyarakat hukum adat. Satu-satunya sumber ekonomi atau mata pencaharian mereka adalah kemenyan dari hutan  tersebut," lanjutnya.

"Bisa dibayangkan, selama sebulan mereka tak ke hutan. Tentu, ini dampaknya secara ekonomis sangat nyata," tuturnya.

Ketakutan masyarakat adat adalah adanya intimidasi dari pihak TPL. Maka, kaum ibu melarang suaminya pergi ke hutan.

"Yang kedua, keberadaan sekuriti di areal portal tersebut cukup mengganggu dan mengintimidasi masyarakat adat tersebut. Jadi, kaum bapak dilarang istrinya agar tidak ke hutan karena takut tindakan yang tak diinginkan terjadi," sambungnya

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved