Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi

Kualifikasi seorang intelektual publik adalah sosok penyuara kebenaran dan kebaikan dengan sangat berani sendirian di ruang publik

|
Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
Dr Jannus TH Siahaan 

Sehingga, dalam konteks ini pulalah mengapa posisi dan fungsi seorang intelektual publik mau tidak mau memang menjadi sangat spesial, karena dibutuhkan oleh sistem politik demokrasi yang hingga hari ini masih kita akui sebagai sistem yang kita anut, terlepas dengan segala perbedaannya dengan sistem demokrasi di negara lain di satu sisi. 

Pun pada ranah yang lain, intelektual publik juga dibutuhkan oleh rakyat banyak untuk  tetap bisa memberikan perspektif-perspektif alternatif dalam menilai dan mengawasi pemerintah, agar tidak terjadi monopoli kebenaran oleh pihak penguasa dan para intelektual pelat merah yang mendukungnya, yang ujungnya justru membodohi publik.

Apalagi secara personal, selama ini tak banyak intelektual yang secara berani dan terbuka  mampu “menempeleng” penguasa” dengan diksi-diksinya. Sehingga peran dan fungsi Rocky sebagai intelektual publik tidak saja menjadi spesial, tapi juga krusial dan sangat strategis. Oposisi personalnya terhadap kekuasaan memberi harapan kepada publik, yang dalam beberapa tahun belakangan mulai ditinggalkan oleh kekuasaan,  untuk tetap bisa diwakili di ruang publik, tentunya melalui diksi-diksi dan analisa-analisa tajam seorang intelektual publik. 

Sayangnya, kampus yang terbilang jumlahnya cukup banyak di negeri ini disertai manusia - manusia bergelar Profesor-Doktor yang jauh lebih banyak lagi, bergeming begitu saja saat perannya dimainkan dengan sangat efektif oleh seorang Rocky Gerung

Karena sebagaimana beberapa kali telah saya tulis, gelar-gelar akademis yang mentereng pada ujungnya menghamba kepada kekuasaan di satu sisi dan hanya untuk melegitimasi status sosial penyandangnya di sisi lain. Padahal Rocky Gerung yang mengguncang panggung politik Indonesia justru tanpa menyandang gelar-gelar akademis mentereng tersebut.

Artinya, bukankah dunia pendidikan kita, terutama kampus, harus introspeksi diri sejadi-jadinya akibat sepak terjang Rocky Gerung selama ini? Pasalnya, peran dunia pendidikan dan kampus-kampus sebagai “pelita” dan “pencerah” untuk orang banyak terbilang gagal dijalankan, terutama dalam sepuluhan tahun terakhir. Hal itu terjadi karena watak “pelat merah” dari para penyandang gelar-gelar akademis yang mentereng tersebut, yang lebih mengutamakan “kuasa” ketimbang “kebenaran”. 

Suramnya dunia kampus kita saat ini jika dihadapkan dengan kekuasaan inilah yang membuat saya, mungkin juga Anda, harus mengakui bahwa Indonesia memang membutuhkan seorang intelektual publik lebih dari waktu-waktu sebelumnya.  Meskipun pengakuan tersebut disertai kekhawatiran karena sampai saat ini, saya belum melihat penerus Rocky muncul ke permukaan.

Pun oleh karena itu pula, saya sebagai warga negara Indonesia, secara pribadi ingin mengucapkan terima kasih kepada sosok intelektual publik, utamanya yang telah dengan konsisten dan persisten menjalankan tugasnya sebagai intelektual publik selama ini, sekaligus telah mengajarkan kepada generasi-generasi muda kita untuk tidak tunduk belaka apalagi terus diam kepada narasi-narasi yang ditawarkan oleh penguasa beserta intelektual-intelektual pelat merah yang menopangnya. 

Lebih dari itu, saya juga mengucapkan terima kasih kepada siapapun di ruang publik yang  telah berani “menggonggongi” kekuasaan di negeri ini secara lugas dan tajam, dengan diksi-diksi yang keras dan narasi-narasi yang Socratik, tanpa  menyisipkan kepentingan pribadi apapun. Sekali lagi, Terima Kasih secara khusus buat anda para Intelektual publik.(*)

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved