Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi

Kualifikasi seorang intelektual publik adalah sosok penyuara kebenaran dan kebaikan dengan sangat berani sendirian di ruang publik

|
Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
Dr Jannus TH Siahaan 

Terkait konsistensi intelektual publik itu, Susie Orbach pernah menulis, “Public intellectuals come from a range of areas and use their expertise to comment more widely than just their field. They want to make a contribution to public space, and they stick their necks out to do it”.  

Nah, apa yang dikatakan Susie ini menjadi salah satu ranah yang jarang dimasuki oleh para pihak yang mengklaim dirinya sebagai intelektual di negeri ini, namun dimasuki dengan senang hati oleh seorang Rocky Gerung.

Biasanya pada satu periode kekuasaan, muncul satu dua intelektual yang berbicara keras di ruang publik terhadap kekuasaan. Namun setelah pergantian kekuasaan, mereka ternyata sudah berada di dalam lingkaran kekuasaan yang baru dan intelektualitas mereka pun berhenti “bermanfaat” setelah itu

Selain itu, intelektual di Indonesia kebanyakan sangat berhati-hati dalam melakukan penilaian kepada penguasa dan sangat khawatir dalam menggunakan diksi untuk merepresentasikan pemikiran mereka atas kekuasaan, entah karena faktor nilai-nilai ketimuran atau karena kekhawatiran atas “sentilan” bahkan teror penguasa dan jejaring intelektual pelat merah penopangnya. Sehingga gaung peran para intelektual “kebanyakan” di Indonesia terasa begitu terbatas, baik terhadap kekuasaan itu sendiri maupun terhadap reaksi publik.

Sementara Rocky Gerung memilih jalan berbeda dengan tetap konsisten dalam menggunakan diksi-diksi keras tanpa tedeng aling-aling, yang lagi-lagi menjadi pembedanya dengan figur-figur lain yang mengatasnamakan dirinya sebagai intelektual saat mengomentari tindak-tanduk kekuasaan. 

Namun demikian, diksi keras dan analisa lugas yang khas dari seorang intelektual publik sulit dibantah, karena memang umumnya selalu berhasil merepresentasikan fakta yang ada hanya dengan satu atau dua kata di satu sisi dan beresonansi secara baik kepada publik, lalu diterima secara antusias di sisi lain. 

Hal tersebut, dalam hemat saya, justru sangat bisa dipahami. Sebagaimana dikatakan Noam Chomsky bahwa tugas seorang intelektual publik adalah “To speak the truth and expose the lie” atau “untuk menyampaikan kebenaran dan mengekspos kebohongan (kekuasaan)”. Pasalnya, kekuasaan, tak terkecuali di Indonesia, biasanya memang acap kali “bebal”, “arogan”, “pekak / tebal telinga”, dan terkadang “tak tahu diri terhadap rakyat pemberi daulat” . 

Jika tidak disapa dengan kata-kata keras tapi berisi dan dengan diksi-diksi yang menohok tapi representatif sekaligus faktual, maka sapaan tersebut cenderung tidak akan pernah digubris oleh penguasa.

Sehingga, kata-kata keras tapi faktual dan berdasarkan nalar yang jernih akan menjadi senjata yang tepat untuk digunakan. Dan sampai hari ini, figur Rocky adalah salah satu intelektual publik yang mampu menggunakan pendekatan itu dengan sangat baik pun efektif.

Nah, kemampuan Rocky Gerung mengoptimalisasi kecerdasan filosofisnya yang muncul dalam bentuk diksi dan kata-kata pilihan untuk mengawal kekuasaan mau tidak mau menempatkannya pada posisi spesial di dalam demokrasi Indonesia. 

Perannya mengingatkan kita kepada Socrates, tokoh Yunani Kuno yang memiliki nama sangat besar di dalam kajian Filsafat. Rocky memasuki berbagai forum dan aneka rupa ajang diskusi untuk mengajak para intelektual lain berdebat secara sehat sembari mengajarkan publik untuk terus skeptis dan terus-menerus mempertanyakan berbagai tindak-tanduk kekuasaan.

Apalagi, jika dikaitkan dengan semakin memudarnya implementasi demokrasi substantif di Indonesia sejak 10 tahun terakhir akibat semakin melemahnya peran-peran partai politik dan organisasi masyarakat sipil di dalam mengimbangi tindak-tanduk kekuasaan pemerintahan. Peran “Socratik” semacam Rocky Gerung malah semakin diperlukan.

Dengan kata lain, dalam situasi seperti hari ini, kehadiran Rocky di berbagai ruang debat dan diskusi akan semakin bermakna untuk menyuarakan keresahan publik di satu sisi dan untuk “menceramahi” keuasaan di sisi lain, tentunya melalui diksi-diksi mematikan dan narasi-narasi “Socratik” ala Rocky Gerung.

Tak lupa, satu lagi, diksi-diksi dan narasi-narasi “Socratik”  ala Rocky Gerung menjadi lengkap dan kuat karena didukung oleh gaya bicara  yang sangat khas seorang “oposisi sejati”. Kata “dungu” yang sering keluar dari mulut Rocky Gerung, akan sangat berbeda “kekuatan” dan “magnitudo” publiknya jika diucapkan oleh tokoh intelektual lain, meskipun konteks dan persoalannya sama. Boleh jadi bahkan tidak punya gaung sama sekali. 

Dengan kata lain, gaya bicara Rocky Gerung pun, ternyata mengimbangi dan mendukung perannya sebagai intelektual publik di satu sisi dan menguatkan diksi-diksinya di sisi lain, yang membuat semua yang beliau ucapkan terhadap kekuasaan mendadak menjadi ancaman bagi kekuasaan itu sendiri.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved