Bekali Diri secara Baik Sebelum Masuk Bilik Suara Pilkada Serentak
Semoga pemilih di daerah semakin memahami kepentingannya dan semakin terang perihal mana kandidat yang paling cocok untuk mewujudkannya
Oleh: Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
PILKADA serentak kali ini nampaknya cukup kritis sekaligus krusial sifatnya bagi Indonesia. Pasalnya, kibasan dan pengaruh dari Pilpres tempo hari masih sangat kentara terasa.
Banyak kandidat yang hanya bisa menjual-jual nama Prabowo Subianto, hanya karena merasa didukung oleh partai-partai politik yang memang menjadi koalisi pendukung Pemerintahan Prabowo.
Padahal, daerah membutuhkan pemimpin yang benar-benar memahami daerahnya secara mendalam di mana pemahaman tersebut kemudian dijadikan bahan dasar untuk meramu berbagai kebijakan ke depannya, bukan sekedar kemampuan membangun narrasi “kedekatan” dengan presiden terpilih atau tokoh-tokoh kuat lainnya di pusat kekuasaan.
Baca juga: Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan
Selain itu, cilakanya lagi klaim dan narasi kedekatan dengan pemerintah pusat juga dijadikan oleh beberapa kandidat, terutama calon Gubernur, untuk menyelamatkan “jejaring” politik oligarkis yang telah mereka bangun selama sepuluh tahun terakhir, baik di daerahnya sendiri maupun di pusat kekuasaan nasional yang telah menikmati berbagai keuntungan ekonomi politik di daerah dalam beberapa tahun terakhir.
Sehingga, kemenangan paslon jenis ini justru akan semakin menguatkan tatanan oligarkis-aristokratis lama di daerah yang secara faktual sebenarnya tidak melakukan apa-apa di daerahnya, kecuali memperkaya dan memperkuat dirinya sendiri.
Pada konteks inilah sebenarnya Pilkada serentak kali ini saya katakan kritis dan krusial. Karena jika publik di daerah tak menyadari adanya kepentingan elitis-oligarkis yang sedang “mencatut” nama Prabowo Subianto sebagai pemenang Pilpres 2024, maka daerah disadari atau tidak disadari, akan terjebak ke dalam permainan “ekonomi politik” yang itu-itu saja, di mana daerah akan dijadikan “pelayan” kepentingan jejaring ekonomi politik (lokal dan nasional) yang hanya ingin mendapatkan “cuan” dalam berbagai bentuk di daerah, tanpa memikirkan masa depan daerah itu sendiri, terutama masa depan masyarakat pemilih di daerah yang telah terlanjur “tertipu” oleh “narasi-narasi” kandidat yang menggambarkan dirinya sebagai “orangnya orang pusat”.
Baca juga: Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara
Padahal, sebagaimana kita ketahui, Prabowo sendiri tentu sangat menginginkan daerah memiliki pemimpin terpilih yang benar-benar mengakar di daerahnya di satu sisi alias tidak sekedar mengandalkan kedekatannya dengan orang-orang dekat Prabowo atau tokoh-tokoh kuat di pusat, tapi juga di sisi lain memiliki visi ekonomi politik sekuat yang dimiliki oleh Prabowo alias tidak sekedar mencatut dan menjual-menjual program pusat di daerah sebagai kamuflase untuk menutupi diri sebagai kandidat yang sebenarnya tidak memiliki visi misi yang jelas.
Namun, karena Indonesia begitu luas dan begitu banyaknya kepala daerah yang mencari dukungan dari pusat atau dari mesin-mesin politik pendukung Prabowo, tentu Prabowo sendiri tak memiliki waktu yang cukup untuk menyeleksi kandidat-kandidat tersebut.
Pada celah inilah sebenarnya beberapa oknum yang mengaku sebagai “orang dekat” Prabowo atau orang dekat tokoh-tokoh kuat nasional menggunakan kesempatan untuk menawarkan dukungan politik kepada para pasangan calon (Paslon ) yang ada di daerah, hanya berbasiskan pada kesepakatan “saling menguntungkan” di antara sesama mereka, tanpa memasukkan kepentingan rakyat daerah ke dalam rumus kesepakatan tersebut.
Baca juga: Menendang "Kadal" di Ajang Pilkada
Sehingga simbiosis mutualisme dangkal semacam itu akan ikut mendangkalkan tujuan awal dan substantif dari agenda Pilkada, yang semestinya untuk kepentingan rakyat daerah, bukan untuk pihak-pihak yang menyamar sebagai “malaikat” lima tahunan di daerah.
Mengapa urusan implementasi Pilkada yang substantif ini penting? Karena, sebagaimana dikatakan oleh Robert W. Flack bahwa "Local government is the foundation of democracy, if it fails, democracy will fail".
Jadi pemimpin pemerintahan daerah yang akan dipilih adalah pemimpin dari institusi pemerintahan yang menjadi fondasi dari demokrasi, karena pemerintahan daerah adalah “tubuh politik” dari pemerintahan yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Jika pembentukan kepemimpinan pemerintahan daerah via Pilkada tidak murni lagi berdasarkan asas-asas demokratis dan tidak lagi berdasarkan aspirasi “murni serta original” dari daerah, maka rontok pula tatanan pemerintahan demokratis secara nasional.
| Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO |
|
|---|
| Kapolres Simalungun Pimpin Doa Syukur dan Baksos Pasca Pilkada 2024 yang Aman dan Damai |
|
|---|
| Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi |
|
|---|
| Bantah Politik Uang dan Pengerahan Aparat, Jubir Bobby-Surya: Jangan Bikin Gaduh di Masa Tenang |
|
|---|
| Apel Pergeseran Pasukan, Kapolres Tebingtinggi Ingatkan Personel Pahami Prosedur Pengamanan TPS |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/dr-jannus-th-siahaan.jpg)