Opini

Etika Bernegara dalam Kepemimpinan Multikultural

PENGARANG Kitab Tajus Salatin (Kitab Raja-raja) yang bernama Buchari Al Jauhari pernah menghasilkan karya tentang etika dan politik ketatanegaraan.

PENGARANG Kitab Tajus Salatin (Kitab Raja-raja) yang bernama Buchari Al Jauhari pernah menghasilkan karya tentang etika dan politik ketatanegaraan. Kitab ini termasuk tulisan yang penting dalam khazanah literasi Melayu. Ia bukan saja merupakan karya yang berbicara tentang masalah etika dan ketatanegaraan. Namun,  merupakan karya yang paling menonjol dan memberi pengaruh besar bagi kalangan pemimpin Melayu, dan pemimpin Jawa sejak awal abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 Masehi.

Sejak kitab ini ditulis hingga akhir abad ke 19, tidak sedikit salinannya dibuat. Ini membuktikan bahwa buku ini dibaca di kalangan luas oleh para pemimpin Melayu di kawasan Nusantara. Kitab ini ditulis tahun 1603 M, dan pengarangnya Bukhari al-Jauhari mempersembahkannya kepada Sultan Alaudin Riwayatsyah (Sultan Aceh) sebagai sumbangan pemikiran seorang cendekiawan untuk menyampaikan berbagai persoalan kepemimpinan.

Pada hakikatnya manusia adalah khalifah di muka bumi. Tugas kekhalifahan itu lebih berat lagi diemban oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin mengemban amanat yang berat, karena dia memiliki kekuasaan yang lebih dari orang lain. Dengan kekuasaan itu pemimpin  berwenang mengatur kehidupan dan mengembangkan arah peradaban manusia/kemasyarakatan.

Dalam pasal kepemimpinan ini Bukhari al-Jauhari merasa perlu menguraikan  kepemimpinan nabi-nabi. Khususnya Nabi Musa AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Yusuf AS, dan Nabi Muhammad SAW. Para nabi ini memiliki kekuasaan untuk memerintah kaumnya, tetapi tetap hidup sederhana dan tidak terbelenggu materialisme dan kemegahan duniawi. Menjalankan kekuasaan untuk tujuan spiritual, bukan untuk sekedar tujuan material.

Pada bagian akhir pasal 5 Bukhari al-Jauhari menjelaskan syarat-syarat seorang raja atau pemimpin. (1) Akil baligh atau dewasa, dan berpendidikan dengan demikian dia akan dapat membedakan yang baik dan yang jahat; (2) Seorang raja itu mesti memiliki ilmu pengetahuan dan berwawasan luas; dengan demikian pemimpin bisa mengelola sumberdaya dengan benar untuk kemaslahatan manusia/masyarakat (3) Seorang raja mesti pandai memilih Menteri berdasarkan kepandaian dan ilmu pengetahuannya; Dengan demikian dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan keahliannya: (4) Raja yang baik hendaklah baik pula rupanya supaya semua orang menyukai dan mencintainya Jika rupanya kurang baik, hendaklah budi pekertinya tinggi; (5) Raja/pemimpin hendaklah pemurah dan dermawan, sebab pemurah itu sifat bangsawan dan orang berbudi, sedang kikir itu sifat orang musyrik dan murtad: (6) Pemimpin senantiasa ingat kebajikan orang yang lemah membantunya selama dalam kesukaran, dan membalasnya dengan kebaikan pula; (7) Pemimpin/Raja hendaklah berani menegur jenderal dan panglima perang, jika yang terakhir ini memang menyalahi perintah dan undang-undang (8) Pemimpin jangan terlalu banyak makan dan tidur, sebab banyak makan dan tidur merupakan sumber bencana: (9) Pemimpin tidak gemar main perempuan, sebab gemar akan perempuan bukanlah tanda orang berbudi: (10) Pemimpin hendaklah laki-laki, sebab perempuan lebih suka memerintah di belakang layar dan sering menurutkan emosi dibandingkan pertimbangan akal sehat. Perempuan dapat dijadikan raja apabila tidak ada pemimpin laki-laki yang patut dirajakan asal saja jangan mendatangkan fitnah.

Uraian yang menarik dalam kitab ini ialah tentang akal atau budi. Raja Nusyirwan (Maharaja Parsi) ketika ditanya orang mengenai kedudukan akal dia mengatakan bahwa akal merupakan perhiasan kerajaan (pemerintahan) dan tanda kesempurnaan. Menurutnya, orang yang berakal budi disamakan dengan pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahan bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya.

Filsafat kepemimpinan politik ini diperkuat lagi oleh Plato seorang filsuf Yunani Klasik  pernah membicarakan seni dalam ‘Republik Plato’. Di dalam ‘republik’ yang dicita-citakan Plato itu kesenian menjadi bahan perenungan yang dalam bagi negaranya yang berlaku sebagai raja filsuf. Seorang pengendali pemerintahan seharusnya ia juga seorang ratu Pandito. Menurut Plato, seorang raja yang sekaligus filsuf akan mampu menjaga keselarasan hidup bersama dan memperlakukan secara adil tentang keberadaan kesenian. Secara idealnya menurut Plato, sebaiknya para pejabat yang berkuasa harus dapat bertugas bukan saja sebagai filsuf, melainkan juga sebagai pujangga dan budayawan

Indonesia sebagai negara bangsa memiliki kemajemukan dan kekayaan sosiokultural. Tradisi keagamaan serta spritualitas, dan tradisi di negara ini sangat indah yang tidak ternilai. Keindahan ini perlu dirawat dan dipelihara. Dalam merawat kebhinnekaan berarti senantiasa merayakan, menjaga, dan memperkuat Indonesia. Jelas tidak bakal ada entitas negara dan bangsa Indonesia, jika tidak ada kemajemukan dalam berbagai bidang kehidupan.

Tidak ada Indonesia, jika yang ada hanyalah “keikaan”, ketunggalan atau monokulturalisme, Karena itu kebhinnekaan negara bangsa ini harus diberdayakan dan difungsionalkan untuk hari ini dan untuk masa depan. Merawat kebhinnekaan di masa depan termasuk di tahun politik tidaklah mudah. Pengalaman sejarah sejak kemerdekaan tahun 1945 menunjukkan betapa tidak mudahnya merawat kebhinnekaan. Walaupun negara bangsa kita secara konstitusional memiliki prinsip bhinneka tunggal ika, beragam-ragam tetapi satu juga, selalu ada upaya lebih menekankan “keikaan”, “ketunggalan” atau monokulturalisme daripada kebhinnekaan dan kemajemukan

Di Indonesia pada dasarnya terdapat kultur dominan baik dalam hal budaya, politik, etnis dan agama. Namun kultur dominan (dominant culture) juga memberikan akomodasi bagi kultur lain (subculture) untuk mengekspresikan dirinya, juga terjadi proses interaksi cukup kuat antar kultur dominan dengan kultur lain. Alan Scot (2022 : Department of Sociology, University of Cambridge, Cambridge, UK) menguraikan Dominant culture atau Budaya dominan adalah praktik budaya yang berkuasa dalam suatu organisasi politik, sosial, atau ekonomi tertentu, tempat banyak budaya hidup bersama. Hal ini dapat merujuk pada bahasa, agama/budaya, signifikansi sosial dan/atau budaya masyarakat. Sedangkan Subculture didefinisikan sebagai budaya yang berasal dari sekelompok kecil orang yang ada dalam suatu budaya yang memisahkan diri dari budaya dominan. Hal ini juga dapat digambarkan sebagai sebuah kelompok di antara sekelompok besar orang yang tertarik yang percaya pada budaya yang berbeda. Merujuk teori ini maka pada kenyataannya  Prinsip ini sering bertentangan dengan praktik politik di lapangan (Indonesia). Contoh seorang melayu jarang ditemukan memimpin sebagai penguasa (gubernur atau bupati) diluar Melayu. Namun pada akhirnya Nizhamul (seorang Melayu Riau) selaku Bupati di Magetan - Jawa Timur, dipandang suatu hal yang menarik. Meskipun berstatus Penjabat, dia kemudian dipercaya  sebagai pemangku kekuasaan di Magetan Jawa Timur. Dalam hal fenomena ini, kultur dominan memberikan akomodasi bagi subkultur lain untuk mengekspresikan dirinya, sehingga memunculkan proses interaksi cukup kuat antar kultur dominan dengan subkultur lain, dan pada akhirnya memunculkan sebuah suprakultur yang bisa dinisbahkan sebagai kultur Indonesia.

Oleh karena itu dalam menyikapi fenomena yang terjadi di pemerintahan saat ini, diperlukan solidaritas yang bertanggungjawab sebagai langkah strategis dan berkesinambungan melalui kepemimpinan multicultural baik formal maupun nonformal, untuk kemudian disikapi dengan etika integritas bernegara. Etika integritas dapat dipahami sebagai keselarasan antara apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan, mencerminkan konsistensi dalam sikap dan tindakan. Tindakan yang konsisten dengan nilai-nilai integritas ini akan membentuk karakter yang kuat dan dapat diandalkan untuk kita berbangsa dan bernegara. Jika seperti itu maka hal ini dapat dianggap sebagai cara meredakan ketegangan dan kesalahfahaman dalam perjalanan kepemimpinan Indonesia sebagai bangsa yang  berbudaya.

 

Penulis: Shafwan Hadi Umry1 – Yanhar Jamaluddin2

1Penerima Hadiah Sastra Tahun 2024, 2Dosen Pascasarjana Universitas Medan Area

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved