Pemilu 2024

Inilah 3 Hakim yang Berikan Dissenting Opinion saat Sidang Pilpres, 1 di Antaranya Lulusan Malaysia

Dalam perkara ini, MK memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan sengketa hasil Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Editor: Satia
Tribunnews
Tiga hakim MK yang beda pendapat atau dissenting opinion dalam memberikan putusan pada sidang sengketa Pilpres 2024 

Enny juga menyoroti penyaluran bansos di beberapa daerah yang menggunakan dana operasional presiden (DOP) dalam kaitannya erat dengan dukungan terhadap salah satu paslon.

Baca juga: Harga Oppo A17 di April 2024 beserta Spesifikasi Unggulannya

Hal itu menyebabkan ketidaksetaraan peserta mengenai kontestasi perebutan suara rakyat dalam pemilu.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian perimbangan hukum di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dalam petitumnya," kata Enny.

Pihaknya meyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos.

Oleh karena itu seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut.

3. Arief Hidayat

Arief Hidayat merupakan hakim MK yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Ketua MK pada 2015-2018.

Ia menjabat sebagai hakim MK pada 4 Maret 2013, menggantikan Mahfud MD.

Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 ini juga adalah seorang profesor hukum di almamaternya, Universitas Diponogoro.

Ia memiliki keahlian di bidang hukum tata negara, hukum dan politik, hukum dan perundang-undangan, hukum lingkungan, dan hukum perikanan.

Dalam sidang putusan MK, Arief Hidayat secara khusus memberikan sejumlah catatan, salah satunya untuk menyelenggarakan pemilu tidak hanya sesuai dengan prinsip rule of law (aturan hukum) namun juga rule of ethics (aturan etika).

Rule of ethics yang luhur tersebut perlu ditegakkan oleh suatu Mahkamah Etika Nasional, sehingga penyimpangan dalam pemilu di masa depan dapat dihindari.

Penyimpangan rule of ethics yang dimaksud seperti cawe-cawe presiden dalam pemilu yang merupakan tindakan abuse of ethics.

Cawe-cawe presiden tersebut yakni ketika presiden secara terang-terangan mendukung salah satu paslon.

Baca juga: Bacalon Bupati Samosir Josmar Naibaho Mendaftar ke Partai Golkar

Hal itu kemudian Arief menilai bahwa presiden seolah-olah mencoba menyuburkan politik dinasti dengan nepotisme an berpotensi mengancam tata nilai demokrasi ke depan.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved