Tribun Wiki
Sejarah Buruk PPP pada Pemilu 2024, Padahal di Era Orde Baru Pernah Berada di Peringkat Kedua
Pada Pemilu 2024, PPP berakhir babak belur dan tak lolos. Padahal di masa Orde Baru, partai berlambang Kabah ini pernah ditakuti Soeharto
Pada pertengahan tahun 1970-an, dukungan masyarakat terhadap rezim Soeharto dengan cepat berkurang.
Ketika Soeharto merebut kekuasaan diduga melalui kudeta militer berdarah pada tahun 1965 dan menggulingkan Presiden Soekarno, kelompok-kelompok Islam mendukung Soeharto dan membantu menganiaya lawan-lawan politiknya.
Namun ketika rezim menjadi korup dan semakin otoriter, aliansi ini mulai runtuh.
Pada tahun 1974, Zakaria bin Muhammad Amin diangkat sebagai anggota dewan dan menjabat hingga tahun 1986.
Baca juga: Bawa Golkar Unggul di Sumut, Sesepuh Golkar Pilih Ijeck jadi Gubernur Ketimbang Bobby Nasution
Menjelang pemilu legislatif tahun 1977, banyak orang mulai mencari pilihan lain selain Golkar yang didukung pemerintah.
Khawatir PPP akan memenangkan pemilu, Soeharto mempermainkan ketakutan masyarakat dengan meminta militer menangkap sekelompok orang yang mengaku terkait dengan Komando Jihad.
Oleh karena itu, beberapa orang menjadi khawatir bahwa memilih PPP dan partainya yang berhaluan Islam berarti menyatakan dukungannya terhadap Komando Jihad.
Dan dalam pemerintahan yang semakin otoriter, banyak yang menolak untuk dikaitkan dengan pihak yang salah.
Golkar kemudian memenangkan pemilihan legislatif dengan 62 persen dan PPP berada di urutan kedua dengan 27 persen suara.
Namun PPP tidak tinggal diam dan menerima kekalahan.
Baca juga: PPP DAN PSI GAGAL KE SENAYAN: PDI-P dan PKS Dapat Durian Runtuh Limpahan Kursi DPR RI
Pada Sidang Umum MPR tahun 1978, anggota PPP Chalid Mawardi melontarkan kritik pedas terhadap rezim Soeharto.
Mawardi menuduh Pemerintah anti-Muslim, mengeluhkan tindakan keras yang dilakukan pemerintah terhadap perbedaan pendapat, dan menuduh bahwa Pemilu Legislatif tahun 1977 dimenangkan karena adanya kecurangan dalam pemilu.
Anggota PPP juga melakukan aksi mogok massal ketika Soeharto menyebut agama sebagai “aliran kepercayaan”.
PPP tampaknya semakin mengukuhkan statusnya sebagai partai oposisi terkuat. Namun hal itu tidak akan bertahan lama.
Pada tahun 1984, NU, di bawah pimpinannya, Abdurrahman Wahid, menarik diri dari PPP, sehingga melemahkan partai.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Menteri-Pariwisata-Sandiaga-Uno-telah-resmi-bergabung-dengan-PPP.jpg)