Berita Medan
Diskusi Climate Action Day 2023, Komnas HAM : Krisis Iklim Jadi Tantangan Berat Pascacovid-19
Salah satunya yaitu Kearifan lokal baik yang sudah mulai ditinggalkan maupun yang masih dilakukan diyakini bisa menjadi jawaban atas tantangan krisis.
Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN- Krisis paling berat yang dihadapi secara global pascacovid-19 adalah perubahan iklim.
Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengurani krisis perubahan iklim tersebut.
Salah satunya yaitu Kearifan lokal baik yang sudah mulai ditinggalkan maupun yang masih dilakukan diyakini bisa menjadi jawaban atas tantangan krisis iklim yang akan datang.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi pada Climate Action Day 2023 yang digelar oleh Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP), Green Justice Indonesia, dan Child Rights Coalition Asia.
Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin Siagian yang hadir dalam diskusi tersebut menegaskan, perubahan iklim menjadi tantangan paling besar abad ini pasca Covid-19.
"Korban dari krisis iklim sudah berjatuhan di manan-mana. Mulai dari petani yang sudah kehilangan arah dalam menentukan musim tanam, nelayan tradisional kehilangan kemampuan menavigasi sumber-sumber ikan, banyak juga pulau-pulau kecil sudah tenggelam, hutan banyak yang sudah hilang dan juga persebaran jenis penyakit yang baru. Hal tersebut akan sangat memengaruhi situasi di Indonesia pada khususnya," jelasnya.
Ia menuturkan, secara umum dunia sudah mengakui bahwa ini adalah problem terbesar yang akan dihadapi oleh manusia.
"Waktu kita sudah sangat sempit bahkan banyak pihak yang sudah menganggap kita sudah kehabisan waktu dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini ini seperti truk di jalan menurun yang tidak punya rem," tuturnya.
Saat ini, lanjut Saurlin, pemimpin dunia sedang berkumpul di Doga untuk merumuskan aksi-aksi yang bisa segera dilakukan terkait krisis iklim yang terjadi.
Dia berharap hasil dari pertemuan itu tidak berupa kesepakatan kosong tapi dapat diimplementasikan dengan rencana aksi yang terukur.
"Komnas HAM saat ini sudah menerima banyak pengaduan dari korban krisis iklim, namun Komnas HAM belum memiliki instrumen dan mekanisme terhadap pengaduan dari korban krisis iklim," terangnya.
Secara nyata, lanjut Saurlin, korban krisis iklim sudah berdatangan Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan lainnya. Menurutnya, laporan dari korban krisis ikim ini akan semakin banyak.
"Tetapi kita belum punya instrumen yang memadai untuk meresponnya. Oleh karena itu Komnas HAM menyiapkan suatu mekanisme dan instrumen untuk memastikan korban iklim bisa mengadukan nasibnya ke lembaga negara seperti Komnas HAM dan untuk diurus oleh negara nantinya," katanya.
Pertama, kasus krisis iklim direspon secara kasus per kasus. Namun harus ada respon strategis yang menghadirkan rekomendasi menyiapkan instrumen HAM dalam kerangka, misalnya, transisi energi.
"Jangan sampai proyek-proyek pembangunan dalam konteks transisi energi ini minus HAM, seperti apa yang kita alami selama. Proyek strategis nasional minus HAM," terangnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Diskusi-Climate-Action-Day-2023-yang-digelar.jpg)