Tribun Wiki
Tradisi Markobar pada Suku Mandailing yang Masih Terjaga Hingga saat Ini
Suku Mandailing yang ada di Sumatra Utara memiliki beragam tradisi yang masih dijaga hingga saat ini. Satu diantaraya aadalah tradisi markobar
TRIBUN-MEDAN.COM,- Sumatra Utara adalah wilayah yang memiliki beragam suku dan budaya.
Satu diantara suku yang ada di Sumatra Utara adalah suku Mandailing.
Dalam kehidupan sosialnya, suku Mandailing memiliki beragam tradisi yang masih terjaga hingga saat ini.
Satu diantara tradisi yang masih terjaga adalah Markobar.
Baca juga: Tradisi Ngelegi Bayang-bayang pada Suku Karo yang Mulai Pudar
Bagi sebahagian orang, khususnya mereka yang bukan warga suku Mandailing, mungkin Markobar masih asing.
Nama Markobar justru sempat disematkan pada satu produk makanan.
Namun, Markobar ternyata punya makna khusus dalam masyarakat suku Mandailing.
Markobar sendiri merupakan pembicaraan resmi yang dilaksanakan dalam upacara adat Mandailing; baik dalam acara siriaon (pesta dalam suasana gembira), maupun silulutun (pesta dalam suasana duka cita).
Baca juga: Tradisi Marari Sabtu, Hari Penyucian Bagi Agama Parmalim
Sebagai norma yang diwariskan secara turun-temurun, Markobar memiliki tatacara yang sudah merupakan konvensi bersama masyarakat Mandailing.
Pada praktiknya, ada beragam variasi yang disampaikan dalam proses penuturan dan isi yang dituturkan.
Namun, warisan budaya yang dianggap sakral ini masih dilaksanakan dalam upacara adat masyarakat Mandailing.
Dalam Jurnal Hukum Keluarga Islam yang disusun Dedi Syahputra dengan judul Tradisi Markobar Dalam Pernikahan Adat Mandailing Dalam Perspektif Hukum Islam disebutkan, bahwa ada tiga hal mendasar yang harus dikuasai oleh seseorang agar mahir markobar.
Baca juga: Tradisi Andung pada Prosesi Kematian Masyarakat Batak Toba
Memahami Konsep Dalian na Tolu
Pemahaman terhadap sistem dalian na tolu harus betul-betul dikuasai.
Ketika mengikuti perhelatan adat Mandailing, bagaimanakah hubungan kekerabatan seseorang dengan pelaksana acara (suhut).
Apakah sebagai mora, kahanggi, anak boru.
Dalian natolu ( tiga tumpuan) yang masing-masing memiliki tugas dan hak yang mesti dipenuhi.
Baca juga: Tradisi Gondang Naposo pada Batak Toba, Ajang Silaturahmi dan Pencarian Jodoh
Filosofi Mandailing mengatakan:
a. Somba Marmora santun kepada mora
b. Manat manat markahanggi perhatian kepada kahanggi.
Elek maranak boru sayang kepada anak boru.
Sedangkan kebalikannya adalah:
a. Muda nialo kahanggi urang panoboti.
Jikalau berseteru dengan kahanggi, maka tidak akan kokoh, tidak ada kawan bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu.
Baca juga: Tradisi Manganggap pada Masyarakat Batak Toba yang Mulai Memudar
b. Muda nialo anak boru urang ma pargogo.
Jika berseteru dengan anak boru, maka akan kurang mendapat sokongan dan dukungan.
c. Muda nialo mora inda marsinabue suan-suanan.
Manakala melawan kepada mora, maka perkembangan keturunan kita kurang banyak, tanam-tanaman kita kurang subur.
Mora harus dimuliakan, karena telah memberikan anak gadisnya sebagai ibu yang akan melahirkan pewaris marga.
Mora juga dapat dijadikan sebagai tempat mengadukan kesusahan.
Dalam kaitan tersebut, maka mora sering diungkapkan sebagai:
a. Mataniari na so gakgakon
Mora dimetaforakan sebagai matahari yang tidak dapat ditentang cahayanya.
b. Lung na turuk naso tungkiron
Mora dilambangkan sebagai jurang yang dalam yang membuat kita gemetaran kalau memperhatikannya.
c. Ulu ni bondar na so asopsopan
Hulu mata air yang tidak tertimbuni.
Kahanggi adalah saudara semarga atau kelompok marga lain yang menjadi kahanggi kita karena satu besanan (kahanggi pareban).
Kahanggi adalah saudara sependeritaan.(ray/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Markobar-mandailing.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.