Tribun Wiki

Pemena, Agama Pertama Suku Karo

Bagi masyarakat di Sumatra Utara, suku Karo adalah bagian dari kebudayaan masyarakat dan satu diantara suku-suku lainnya

Editor: Array A Argus
INTERNET
Ilustrasi suku Karo 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Suku Karo merupakan satu diantara kelompok etnis Batak yang menyebar dan menetap di Tanahkaro, Sumatra Utara, Indonesia.

Etnis ini menjadi satu diantara suku terbesar di Sumatera Utara.

Bahkan, nama suku ini menjadi kabupaten di Sumut.

Meskipun mayoritas masyarakat Karo saat ini memeluk agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, atau Islam, mereka juga masih mempraktikkan kepercayaan asli mereka yang disebut Pemena atau Pamena.

Baca juga: Kaab al-Ahbar, Orang Yahudi Ahli Kitab dan Dikenal di Kalangan Umat Islam

Pemena adalah kepercayaan tradisional yang menghormati roh nenek moyang dan menjaga keseimbangan dengan alam.

Dari berbagai literasi yang ada, Pemena juga memiliki kemiripan dengan agama Hindu, terutama dalam hal upacara keagamaan.

Terkelin Sembiring, warga asli Lingga, Kabupaten Karo mengatakan, Pemena disebut sebagai Kiniteken Pemena, atau agama pertama bagi suku Karo.

Baca juga: Ragam Kelompok Yahudi Beserta Sekte dan Alirannya

Jumlah pemeluk Pemena yang tersebar di Karo, Medan, Deliserdang dan Langkat terus menyusut.

Jumlah terbesar ada di wilayah Karo, seperti di Batukarang, Lingga dan Sukanalu.

Turunan Senata Dharma

Pemena ini merupakan aliran kepercayaan yang ada pada masyarakat tradisional Karo, ataupun bisa juga disebut agama asli dari masyarakat Karo.

Pemena merupakan kepercayaan yang menganut sistem politheisme dan dinanisme.

Pemena ini tak ubahnya Parmalim di Tanah Batak.

Baca juga: Yahudi Haredi, Kelompok Ortodoks yang Menentang Aksi Zionisme di Palestina

Bedanya, Parmalim lebih berani berekspresi dan menuntut pengakuan akan eksistensinya.

Keberadaannya juga kerap menghiasi publikasi di beberapa media massa, baik lokal maupun nasional.

Kalau Parmalim mengklaim jumlahnya mencapai 6000-an di seluruh Indonesia, Pemena jauh lebih sedikit.

Paling banyak hanya sekitar 800-an orang saja.

Baca juga: Kenapa Yahudi Membenci Islam? Biarawati Umat Kristen Diludahi

Meskipun populasinya terus menipis, kepercayaan Pemena, yang dipercaya merupakan turunan langsung dari Senata Dharma Agama Hindu di India ini, masih menghiasi beberapa wilayah di Kabupaten Karo, Kabupaten Deliserdang hingga Kabupaten Langkat.

Bahkan tak sedikit juga yang sudah pindah ke Kota Medan dan masih memeluk kepercayaan yang sama.

Indikasinya, di beberapa jambur (balai pertemuan masyarakat Karo) di Kota Medan, sesekali masih ditemui perayaan pernikahan anak kecil yang biasa disebut ‘Cabur Bulung’.

Ritual pernikahan ini persis sama seperti pernikahan orang dewasa lainnya.

Baca juga: Polres Toba Jaga Warga Beragama Parmalim Merayakan Hari Besar ^Pameleon Bolon Sipahalima^

Namun si anak kecil tidak akan benar-benar menikah karena Cabur Bulung hanya dilakukan bukan untuk berketurunan.

Melainkan untuk pengobatan penyakit dan ritual permohonan maaf.

Pengalaman pahit di pesta demokrasi, yaitu Pemilu, juga menjadi pelajaran bagi penganut kepercayaan Pemena ini.

Ada beberapa partai di wilayah Sumatera Utara yang mengklaim akan mempedulikan dan memperjuangkan nasib penganut kepercayaan minoritas.

Tapi alih-alih menepati janji, masuk ke dalam partai politik untuk memperjuangkan nasib mereka saja pun tak dibolehkan.

Seharusnya dengan menganut kepercayaan tradisional tak lantas membuat mereka merasa berbeda dengan orang lain.

Kalau sudah begini, pemimpin ke depan harus benar-benar mampu meyakinkan pemeluk agama/kepercayaan minoritas mereka tetap mendapatkan porsi serupa dengan masyarakat lainnya.

Budayawan dan Antropolog Karo, Juara R Ginting, mengakui lahirnya Pemena di masa silam memang tak lepas dari sebuah proses politik.

“Ya memang seperti itu. Dulu ketuanya itu almarhum Jasa Tarigan. Sekarang tidak tahu lagi bagaimana nasib komunitas mereka. Jumlahnya mungkin ada ratusan,” kata pria yang kini sedang menetap di Belanda ini.

Ia memperlihatkan salahsatu artikelnya dalam buku yang dicetak terbatas, Hinduism Modern Indonesia.

Dalam buku itu jelas diperlihatkannya bagaimana awalnya Pemena ini masuk ke dalam Batak Karo termasuk proses perkembangannya.

Meski awalnya sempat diterima, namun karena tarik menarik dan adanya upaya politisasi dengan Hindu, akhirnya banyak masyarakat Karo penganut Pemena, menarik diri.

Mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri.

Mereka melanjutkan aktifitas dan ritual Pemena dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagian kecil masyarakat pemeluk agama ini membentuk beberapa organisasi, seperti Persatuan Pengobatan Tradisional Karo dan Arisen Perjenujung Deleng Sibayak.

“Sementara sebagian besar lainnya langsung bergabung dan memeluk beberapa agama, seperti Kristen Protestan, Katholik, Pantekosta, Adven dan juga agama Islam,” jelas Juara.

Ada banyak versi memang tentang proses masuknya Pemena ke Tanahkaro ini.

Dari beberapa literatur tambahan, diyakini Hindu sudah masuk ke Karo (Aru/Haru) di awal-awal tahun Masehi (dan dipercaya aksara Palawa mulai diperkenalkan.

Hal ini didukung dengan ditemukannya sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumatera bagian Utara), yang ditemukan oleh G.J.J. Deuts pada tahun 1879.

Tulisan tersebut di tahun 1932 diterjemahkan oleh Prof. Nilakantiasastri, guru besar dari Universitas Madras.

Maka, diketahuilah bahwa pada tahun 1080, di Lobu Tua tak jauh dari Sungai Singkil ada permukiman pedagang dari India Selatan.

Mereka orang Tamil yang menjadi pedagang kapur barus yang menurut tafsiran membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang kira-kira 1. 500 orang. 

Mereka diyakini berasal dari negeri-negeri di Selatan India, seperti: Colay (Cōla), Pandya (Pandyth), Teykaman, Muoham, Malaylam dan Kalingga (Orysa).

Sekitar tahun 1128-1285 karena terdesak oleh misi dagang dan siar Islam yang dilakukan prajurit dan pedagang dari Arab serta Turki(ada beberapa ahli  juga berpendapat, jikalau mere sebenarnya terdesak oleh sedadu Jawa, Minang, ataupun Aceh) maka kaum Tamil di Barus mengungsi ke pedalaman Alas dan Gayo di (Kabupaten Aceh Tenggara,) dan kemudian mendirikan Kampung Renun.

Ada juga yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo kemudian berbaur dengan Proto Karo(Karo Tua).

Ini yang menjadi asumsi sebagian pihak bahwa Bangsa Tamil-lah yang sudah berbiak dan bermarga di Karo itulah yang menjadi motor penggerak dari kepercayaan Pemena di kemudian hari.

Dan bukan tidak mungkin Pemena di Karo sama dengan Senata Dharma yang pernah berkembang di Selatan India.

Apalagi bila ditinjau dari segi bahasa, "Pemena” = pertama, awal, dasar. bandingkan dengan ''Senata Dharma” yang juga berarti kepercayaan (agama) pertama.(tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved