Jalan Rusak

Jalan Rusak di Sumut Tertinggi Kedua di Sumatera, Inovasi Pejabat Dapatkan Dana masih Lemah

Total panjang jalan nasional di Sumatera Utara adalah 2.632 km, jalan provinsi 3.048 km, jalan kabupaten 27.552 km.

TRIBUN MEDAN/RECHTIN RITONGA
Jalan rusak parah di Jalan Pintu Air IV, Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor yang kerap mengakibatkan kemacetan dan pengguna jalan yang terjatuh saat lubang digenangi air hujan. 

TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Provinsi Lampung menjadi sorotan pascaviralnya jalan rusak di provinsi tersebut. Terlebih lagi, Presiden Jokowi meninjau langsung kondisi jalan tersebut dan mengucurkan anggaran Rp 800 miliar untuk perbaikan jalan di Lampung.

Namun, berdasarkan data Kementerian PUPR, masih ada provinsi di Sumatera yang memiliki jalan rusak yang lebih banyak.

Total panjang jalan nasional di Sumatera Utara adalah 2.632 km, jalan provinsi 3.048 km, jalan kabupaten 27.552 km.

Jalan provinsi dengan status rusak berat di Pulau Sumatera paling banyak adalah Riau sepanjang 632 km, disusul Sumut dengan 332 km (10,89 persen) dan Aceh 306 km (17,19 persen).

Pengamat Tata Kota dari Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) Rafriandi Nasution mengatakan kelemahan pejabat di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sumut belum memiliki kreativitas yang cukup untuk mendapatkan sumber dana untuk membangun infrastruktur.

"Kreativitas dan inovasi pejabat-pejabat kita masih lemah dalam mencari sumber-sumber pendanaan untuk bisa memperbaiki infrastruktur di daerahnya masing-masing," ujar Rafriandi kepada tribun-medan.com, Sabtu (6/5/2023).

Dikatakan Rafriandi, perbaikan jalan di Sumatra Utara akan sangat besar terpengaruh dari prioritas visi dan misi dari kepala daerah.

Hal ini juga akan tergambarkan dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) suatu daerah.

"Kita harus lihat juga kitab sucinya Sumut Bermartabat itu, apakah infrastruktur di peringkat pertamanya. Kalau infrastruktur di peringkat pertamanya kita bisa menyalahkan gubernurnya dalam visi misi nya yang baru bisa terlaksana 30 sampai 40 persen," katanya.

Untuk itu, kata Rafriandi, sebagai kepala daerah harus memahami masalah utama dari suatu daerah sebelum mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin.

"Jadi calon kepala daerah, harus bisa melihat apa yang jadi problem mendasar di kabupaten/kota yang mau dipimpinnya sehingga dia tahu bagaimana cara mengatasinya. Jangan mau jadi wali kota atau gubernur, tapi ngomong ke pusat saja tidak bisa," ucapnya.

Jika dikulik dalam struktur APBD beberapa daerah di Provinsi Sumatra Utara, Rafriandi mengatakan, anggaran yang paling besar adalah untuk aparatur negara.

"Misalnya gaji, kunjungan-kunjungan, makan, minum dan lain sebagainya. Itu yang paling besar. Kemudian jumlah aparatur kita juga tidak seimbang dengan APBD kita. Jadi lebih besar pasak daripada tiang, udah kekgitu kadang-kadang kita minta nuntut otonomi lagi, minta nuntut pemekaran," katanya.

Rafriandi mengatakan, pejabat negara seharusnya mempertimbangkan dari mana sumber daya APBD bisa dimaksimalkan untuk pembangunan jalan di Sumut.

"Contohnya Phakphak Bharat itu kan hutan-hutannya sudah digunduli. Untuk membangun perkantoran perumahan dan sebagainya karena kalau hutan saja pajaknya hanya dari hutan saja. Tapi kalau dirubah bangunan fisik maka dia ada pajak air, listrik, PBB dan sebagainya," ucapnya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved