Politik Gender Inklusif di Indonesia: progress and challenges

Indonesia memperkenalkan politik gender inklusif untuk mencapai kesetaraan gender (gender equality) dan pemberdayaan perempuan (women emperwoment).

Editor: Array A Argus
Ho / Tribun Medan
Meryl Saragih dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo saat menjadi pemateri politik gender inklusif di Universitas HKBP Nommensen 

Kata Meryl kalau politik gender inklusif di Sumut bisa diterapkan akan semakin banyak manfaat yang didapatkan perempuan, yaitu misalnya mendapat perlakukan yang sama ketika mencari kerja hingga pembangunan yang berdasarkan gender.

"Tentu sangat banyak manfaatnya bagi perempuan. Misal kalau bawa ke pengangaran di dinas-dinas, dinas pemberdayaan perempuan dan anak itu kecil padahal itu penting buat perempuan. Kalau penganggaran sudah iklusif, tentu kami perempuan ini mempunyai kesempatan untuk pengembangan diri," ujarnya.

Romanna Lusty, aktivis perempuan di Sumut
Romanna Lusty, aktivis perempuan di Sumut

Kurangnya Kompetensi

Romanna Lusty seorang aktivis perempuan yang getol memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia mengutarakan partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia sangatlah penting karena kehadiran mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dari berbagai kebijakan. Namun diskriminasi terhadap perempuan masih terus terjadi.

“Kesenjangangan antara perempuan pada saat ini masih terlihat sangat jelas, misalnya dalam pendidikan saja, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena akan kembali ke dapur juga,” ujarnya.

Kata Lusty yang membuat perempuan merasa dipinggirkan, karena perempuan dianggap hanya bisa mengurus hal-hal domestik saja, seharusnya budaya patriarki dimasyarakat terhadap perempuan dihilangkan agar perempuan juga bisa merasakan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, serta juga bisa ikut berperan dalam pembanguan ekonomi dan pembangunan politik.

“Dalam pembangunan politik perempuan masih dianggap tidak mempunyai hak untuk terjun kedunia politik. Masih terlihat jelas kesenjangan antara peran perempuan dengan laki-laki dibidang politik, karena perempuan hanya masuk kedalam tatanan objek dari pembangunan dan masih belum termasuk ke dalam pelaku dari suatu pembangunan tersebut,” katanya.

“Dalam konteks politik, peran dan status perempuan jelas didiskriminasi, masalah peran dan status perempuan di depan umum adalah bagian dari hak asasi manusia, yang merupakan hak setiap orang. Namun sangat ironis, banyak perempuan yang tidak memahami hak-haknya. Politik di Indonesia masih penuh dengan seksisme. Harus diakui bahwa perempuan di Indonesia masih belum banyak mengetahui wacana politik,” tambahnya.

Lusty juga menyampaikan sistem politik di Indonesia selama ini kebijakannya masih beranggapan bahwa peran perempuan di bidang politik sebagai orang kedua (second person). Meskipun sudah ada regulasi yang harus dipenuhi soal keterwakilan perempuan. Sehingga diperlukan diperlukan perbaikan-perbaikan mendasar.

“Seharusnya dalam pembangunan politik kita harus memperjuangkan ruang publik yang didalamnya mencangkup seluruh masyarakat tanpa membedakan antara permpuan dan laki-laki. Parpol-parpol di Indonesia harusnya diberi tekanan supaya lebih menghargai tindakan afirmasi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif,” ujarnya.

Selain diskriminasi pada perempuan, kata Lusty perempuan di Indonesia juga terkendala soal kemampuan baik secara ideologi, dan masih menganut pola kultural-sosial yang bersifat tadisional (budaya patriarki) sehingga kepercayaan diri berkurang.

“Selain modal modal politik, modal sosial dan modal ekonomi, kapasitas caleg perempuan dalam berhubungan dengan kerja-kerja politik, termasuk kemampuan berorganisasi di partai politik juga masih menjadi kendala, karena mereka kurang cakap,” tutup Lusty.

(ryd/tribun-medan.com)

 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved