Politik Gender Inklusif di Indonesia: progress and challenges

Indonesia memperkenalkan politik gender inklusif untuk mencapai kesetaraan gender (gender equality) dan pemberdayaan perempuan (women emperwoment).

Editor: Array A Argus
Ho / Tribun Medan
Meryl Saragih dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo saat menjadi pemateri politik gender inklusif di Universitas HKBP Nommensen 

Kebijakan dalam penganggaran hingga kini sifatnya masih eksklusif. Sebuah pandangan bahwa pembangunan berhasil hanya fokus terhadap angka-angka pertumbuhan, padahal dalam amanat undang, kita harus menciptakan semuanya secara inklusif, yaitu kesejahteraan kepada seluruh rakyat indonesia.

Untuk mencapai politik gender Inklusif cukup sulit karena masih ada diskriminasi terhadap perempuan yang terkandung dalam budaya politik Indonesia. Dimana perempuan dipinggirkan dari berbagai akses sosial budaya politik karena dianggap warga kelas dua, yang bakal menjadi beban di kemudian hari.

Jika tercapai politik gender iklusif, banyak hal yang bisa diperbaiki di Indonesia, contohnya dalam penganggaran pembangunan yang berpihak pada perempuan seperti kewajiban penyediaa ruang laktasi di setiap gedung perkantoran. Kemudian pembangunan jembatan penyebrangan yang pro ibu hamil, serta pemberian bantuan kredit kepada perempuan pelaku UMKM yang selama ini masih susah.

Tak hanya itu, persoalan stunting yang masalah dasarnya terletak pada pernikahan dini juga bisa terselesaikan dengan politik gender inklusif ini. Dimana parlemen bisa menghasilkan kebijakan yang bisa mencegah stanting tersebut, yaitu dengan membuat kebijakan bahwa kesehatan reproduksi wajib bagi anak-anak muda yang menjadi calon orangtua ke depan.

Meskipun memiliki manfaat, politik gender inklusif masih sangat susah diterapkan di Indonesia terutama daerah yang masih sangat memegang budaya feodal yang patriarki. Budaya yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.

"Budaya kita masih menjadi halangan untuk perempuan masuk dalam politik. Budaya kita masih menggap perempuan tak cocok dalam politik. Bahkan pandangan ini sering kali keluar dari perempuam-perempuan itu sendiri yang masih berpikir patriariki atau masih feodal," ujar Sarah.

Selain itu, kurangnya akses ekonomi bagi perempuan juga membatasinya untuk terlibat dalam politik, karena politik membutuhkan cost yang tidak sedikit, misal modal bertemu masyarakat, baik akomodasi maupun transportasinya.

"Kalau perempuan mau jadi Caleg. Modal itu perlu. Dari mana kita dapat ini? Tentu kita akan butuh sponsor yang dekat dengan sumber ekonomi keluarga, kalau ngak suami, ayah, abang ataupun adek. Jadi sangat sulit kalau tak mendapat izin dari penopang-penopang ekonomi tadi," ujarnya.

Selain itu kata Sarah, dewasa ini kuota perempuan tak terpenuhi, tak terlepas dari para anggota parlemen petahana, masih berusaha memperhankan jabatannya. Karena banyak yang menjadikan jabatan tersebut sebagai karir. "Susahnya perempuan ke Parlemen tak hanya karena dia tak cakap, namun kadang karena pesaingnya yang tak memberi ruang, seperti petahana yang menggap anggota DPR RI itu sebagai karir,” ujarnya.

Meryl Saragih, puteri ketiga dari Ketua DPD PDIP Sumut Japorman Saragih menjadi calon anggota legislatif.
Meryl Saragih, anggota DPRD Sumut (TRIBUN MEDAN/HO)

Kondisi Politik Gender Inklusi di Daerah

Politik gender inklusif juga masih sulit diterapkan di parlemen-parlemen yang ada di daerah, hal ini disampaikan oleh Meryl Saragih, Anggota DPRD Sumut. Menurutnya yang membuat sulitnya menerapkan Politik Gender Inklusif disebabkan karena para anggota DPRD perempuan yang seharusnya berperan dalam penerapannya, malah menjadi penghambat.

"Perda pengarusutamaan gender memang di Sumut belum disahkan. Padahal ini sangat penting untuk poltik gender inklusif. Sudah bertahun ranperda ini tak naik-naik. Namun saya yang dipilih menjadi ketua Banperda memanfaatkan moment ini, supaya segera dibahas. Namun saya sempat merasa miris, karena ada teman-teman perempuan yang merasa hal ini tidak terlalu penting, dan ini menjadi kendala kita," ujarnya.

Namun meski pun banyak tantangan yang terjadi, Meryl menyampaikan bahwa dia sebagai anggota DPRD perempuan tak akan patah arang dengan kondisi yang terjadi di Parlemen Sumut. Ia akan selalu memanfaatkan segala sesuatu yang melekat padanya untuk mendukung politik gender inklusif di Sumut.

"Meski ditentang sesama anggota parlemen perempuan saya tetap berjuangan memanfaatkan segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk menggolkan ini di awal tahun 2023. Sekarang Sudah kita bahas pasal perpasal, begitu juga dengan ranperda disabilitas yang sama pentingnya dengan pengarus utamanan gender ini," ujarnya.

Kata Meryl ke depan ia akan selalau menjadi influencer politik gender inklusi di Sumut, hingga tercipta komunitas yang bisa memperjuangkan tujuan mulia tersebut. "Tak bisa berdiam diri kita. Meski ada penolakan dari berbagi pihak. Kita Harus berjuang hingga pemberdayaan perempuan dalam politik terwujud," ujarnya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved