DUA Mafia Tanah Kantongi Surat Ekseksusi dari PN Berbekal Surat Palsu, Ini Penjelasan PN Tangerang

Dua mafia tanah saling gugat lalu berdamai dalam proses mediasi di persidangan dan menyepakati pihak yang menjadi pemilik lahan 45 hektare.

Editor: Tariden Turnip
KOMPAS.com/MUHAMMAD NAUFAL
DUA Mafia Tanah Kantongi Surat Ekseksusi dari PN Berbekal Surat Palsu, Ini Penjelasan PN Tangerang. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus sembari didampingi Kapolres Metro Tangerang Kota Kombes Pol Deonijiu de Fatima saat mengungkap kasus mafia tanah di Mapolres Metro Tangerang Kota, Selasa (13/4/2021). 

Yusri mengeklaim, berdasarkan laporan yang dibuat itu, kepolisian langsung melakukan penyelidikan.

Dari penyelidikan itu, aparat kepolisian menangkap kedua tersangka.

"Keduanya merupakan otak dari sengketa tanah ini," kata Yusri.

Dari tangan kedua pelaku, Yusri mengatakan, kepolisian mengamankan barang bukti berupa surat-surat kepemilikan tanah palsu.

Barang bukti yang diamankan salah satunya adalah surat tanah yang digunakan DM untuk menggugat MCP di sidang perdata.

"Surat di sidang perdata itu tidak tercatat untuk membuat SHGB (sertifikat hak guna bangunan)," ujar dia.

"Tersangka DM dan MCP dijerat dengan Pasal 263 KUHP dan 266 KUHP tentang Pemalsuan Surat dengan ancaman penjara 7 tahun," katanya.

pENEJL

Humas PN Tangerang Arief Budi Cahyono menyebutkan, pihaknya tidak bisa mencabut surat penetapan eksekusi tersebut meski DM dan MCP ditangkap polisi karena memalsukan dokumen terkait status kepemilikan lahan itu.

 "Sebelum ada putusan baru yang berkekuatan hukum tetap, kami tak bisa mencabut surat putusan eksekusi lahan itu," ujar Arief kepada wartawan, Jumat (16/4/2021).

Arief mengemukakan, surat putusan tersebut akan tidak berlaku lagi saat DM dan MCP diputuskan bersalah melalui persidangan pidana.

"Saat ini belum inkrah, (DM dan MCP) baru berstatus tersangka," ucap dia.

"Jadi, kami menjunjung azas praduga tak bersalah," sambung Arief.

Arief menjelaskan alasan pihaknya menerbitkan surat penetapan eksekusi.

Menurut Arief, dalam gugatan perdata, pengadilan harus memediasi pihak-pihak yang bersengketa sebelum memeriksa pokok perkara.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved