Memanas Perang Dagang China-Australia, Harga Batu Bara Naik, SDA Batu Bara Indonesia 143 Miliar Ton
Harga Batu Bara Acuan (HBA) April 2021 menjadi 86,68 dollar AS per ton, naik sebesar 2,61 persen dari Maret 2021.
TRIBUN-MEDAN.COM - Perang dagang antara Australia dan China yang tengah memanas berpengaruh terhadap sejumlah harga komoditas global, termasuk batu bara.
Harga Batu Bara Acuan (HBA) April 2021 menjadi 86,68 dollar AS per ton, naik sebesar 2,61 persen dari Maret 2021.
"Tensi dagang tersebut berimbas positif karena naiknya permintaan batubara Indonesia ke China," ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi dalam keterangannya, Kamis (8/4/2021), yang dilansir dari Kompas.com yang berjudul:Perang Dagang China-Australia Kerek Harga Batu Bara
Memburuknya hubungan Australia-China dipicu saat Canberra menyerukan penyelidikan internasional tentang asal-usul pandemi virus corona pada April 2020. Sementara dari pihak Beijing menganggap hal tersebut bagian dari provokasi.
"Larangan tidak resmi atas impor batubara asal negeri Kangguru menyebabkan produksi dan logistrik China ikut terganggu," jelasnya.
Pengurangan ekspor ini, lanjut Agung, juga ditimbulkan oleh adanya gangguan pelabuhan NCIG di Newcastle. Apalagi sebagian besar ekspor Newcastle ditujukan ke pelanggan jangka panjang di Asia Timur, seperti China, Jepang dan Korea Selatan.
Batu bara yang dikirim dari Newcastle sendiri merupakan batubara termal berkalori tinggi yang digunakan di pembangkit listrik, bersama dengan beberapa jenis batubara yang digunakan untuk membuat baja.
"Faktor lain yang menjadi penyebab kenaikan HBA April adalah meningkatnya permintaan kebutuhan batubara dari Jepang, serta adanya sentimen terkait menurunnya suplai dibanding permintaan batubara secara global," Agung.
Selain faktor permintaan dan pasokan, perhitungan nilai HBA sendiri diperoleh dari rata-rata empat indeks harga batubara dunia, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya.
Sepanjang 2021 nilai HBA memang cukup fluktuatif. Pada Januari dibuka pada level 75,84 dollar AS per ton, lalu naik pada Februari menjadi 87,79 dollar AS per ton dan kemudian alami penurunan di Maret menjadi 84,49 dollar AS per ton.
Untuk diketahui, nilai HBA bulan April tersebut akan dipergunakan pada penentuan harga batubara pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).

Ilustrasi batu bara. (DOKUMENTASI ESDM)
Badan Geologi: Sumber Daya Batu Bara Indonesia 143 Miliar Ton
Sementara itu, sebelumnya Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan total keseluruhan sumber daya batu bara di Indonesia mencapai 143,73 miliar ton dengan cadangan 38,81 miliar ton.
"Indonesia punya kekayaan batu bara yang sangat besar. Hasil penelitian Badan Geologi Tahun 2020 mencatat sumber daya batu bara sebanyak 143,73 miliar ton dengan cadangan 38,81 miliar ton," kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono dilansir dari Antara, Jumat (26/3/2021).
Sebanyak 90 persen cadangan batu bara di Indonesia memiliki kalori sedang dan rendah untuk konsumsi industri ketenagalistrikan, smelter, semen, pupuk, dan kertas.
Tahun lalu, konsumsi batu bara dalam negeri atau Domestic Market Obligation tercatat sebesar 121,89 juta ton dengan penggunaan terbesar untuk menyuplai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Lebih lanjut Eko menyebutkan saat ini lebih dari 50 persen pembangkit listrik di Indonesia adalah PLTU yang berbahan bakar utama batu bara.
Terdapat 237 PLTU batu bara di Indonesia dengan rincian sebanyak 31 persen terletak di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Kemudian, Sumatera ada 25 persen, Sulawesi 17 persen, Maluku 2 persen, dan Papua 1 persen.
Total kapasitas terpasang PLTU batu bara sebesar 34,6 Giga Watt. Pemakaian batu bara sebesar 98,9 juta ton dengan potensi Fly Ash and Bottom Ash (FABA) sebanyak 9,89 juta ton.
Saat ini Indonesia menghadapi tantangan terkait isu lingkungan karena jumlah PLTU dan pemanfaatan batu bara yang disebut menghasilkan emisi karbondioksida yang memicu peningkatan suhu bumi.
"Akibat isu lingkungan inilah industri batu bara menghadapi tantangan. Kita harus bisa menjawab tantangan ini," kata Eko yang dilansir dari Kompas.com yang berjudul:Badan Geologi: Sumber Daya Batu Bara Indonesia 143 Miliar Ton
Dalam penelitian yang dilakukan Badan Geologi sejak 2018 hingga 2020 di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, batu bara mengandung logam tanah jarang atau Rare Earth Element (REE) sebesar 200 ppm, sedangkan konsentrasi dalam abu batu bara bisa mencapai 10 kali lipat atau sekitar 2.000 ppm.
Seperti diketahui, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk meningkatkan nilai tambah batu bara melalui mekanisme hilirisasi sebagai upaya memaksimalkan potensi sumber batu bara dalam negeri yang masih melimpah.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada Ferian Anggara mengatakan Indonesia harus melakukan studi komprehensif terkait karakteristik batu bara dan karakteristik FABA untuk bisa memaksimalkan potensi tersebut.
Mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2017 tentang Energi Baru dan Terbarukan, lanjut dia, batu bara masuk ke dalam renewable energy melalui program hilirisasi berupa gasifikasi maupun likuifaksi.
"Kita harus melihat batu bara tidak hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai suatu kesatuan utuh yang bisa dimanfaatkan mulai dari eksisting untuk suplai pembangkit listrik hingga pemanfaatan limbah untuk menghasilkan produk baru," kata Ferian.
"Kami sebagai peneliti melihat itu sebagai pulang untuk bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan Indonesia," tambah dia.
Polemik abu batu bara
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan abu hasil pembakaran atau fly ash bottom ash (FABA) batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, keputusan tersebut diambil karena pembakaran batu bara di kegiatan PLTU dilakukan pada temperatur tinggi.
“Sehingga, kandungan karbon tak terbakar atau unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan,” kata dia.
Vivien menjelaskan, hasil data dari uji karakteristik terhadap FABA PLTU, yang dilakukan oleh Kementerian LHK tahun 2020 menunjukkan bahwa limbah PLTU itu masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun.
Hasil uji karakterisitik menunjukkan, FABA PLTU tidak mudah menyala dan tidak mudah meledak, suhu pengujian adalah di atas 140 derajat Fahrenheit.
Selanjutnya, uji karakteristik juga tidak menemukan hasil reaktif terhadap Sianida dan Sulfida, serta tidak ditemukan korosif pada FABA PLTU.
“Dengan demikian, dari hasil uji karakteristik menunjukan limbah FABA dari PLTU tidak memenuhi karakteristik sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun,” ujar dia.
Selain itu, hasil evaluasi dari referensi yang tersedia, menyatakan bahwa hasil uji Prosedur Pelidian Karakteristik Beracun atau Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) terhadap limbah FABA dari 19 unit PLTU, memberikan hasil uji bahwa semua parameter memenuhi baku mutu.
Hasil kajian Human Health Risk Assessment (HHRA) yang telah dijalankan di lokasi untuk mengevaluasi potensi resiko bagi pekerja lapangan menunjukkan bahwa, tidak ada parameter yang melebihi Toxicity Reference Value (TRV) yang ditentukan Kementerian Tenaga Kerja Indonesia yang didefinisikan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 2018.
“Walaupun dinyatakan sebagai Limbah nonB3, namun penghasil limbah nonB3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan," ucap Vivien. (*/Tribunmedan.id/ Kompas.com)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/tambang-batu-bara-disorot-saat-banjir-kalsel.jpg)