Kedai Tok Awang
Emasnya Ternyata Cuma Imitasi
Strategi terapan Didier Deschamps sesungguhnya tiada beda dengan Pelatih Brasil, Tite.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Mak Idam dan Zainuddin tertawa hampir berbarengan. Sebenarnya mereka bisa saja membantahTok Awang. Mereka sebenarnya bisa bilang betapa dalam kasus-kasus lain, istilah generasi emas tetap berujung pada kegemilangan. Brasil di tahun 1970 dan 2002 serta Perancis di tahun 1998, contohnya.
Saat ini, generasi emas yang lain, generasi emas Kroasia, sedang menjemput takdirnya. Mereka telah memastikan langkah ke final. Mereka memupus asa tinggi Inggris yang ingin membawa pulang sepakbola ke rumahnya. Mereka akan menantang Perancis pada partai puncak yang barangkali sama sekali tidak terprediksikan sebelumnya.
Namun, Mak Idam dan Zainuddin pun paham sebenarnya Tok Awang tidak sepenuhnya mendongkol pada Belgia. Namun juga mengerti, berpanjang-panjang membicarakan Brasil hanya akan membuat telinga tersayat-sayat repetan. Maka pilihan paling baik adalah bermain aman, berpura-pura tak paham.
"Cocok, Tok. Memang belum jadi mental Belgia tu. Masih belum stabil. Pas ngelawan Jepang bagus kali, tapi waktu lawan Perancis enggak," kata Zainuddin. Mak Idam mengangguk-angguk, lalu melanjutkan Zainuddin.
"Nyambung cakap Pak Guru ni, Tok. Khusus waktu lawan Perancis, agakku pelatih Belgia udah kayak orang mati akal. Ada dua kali dia rombak strategi, tetap jugak enggak jalan."
Di awal-awal laga, Pelatih Belgia Roberto Martinez sepertinya memang berupaya mengekspoitasi kelebihan Maroane Fellaini. Dalam hal ini sudah barang tentu kelebihan tinggi badannya. Tiap kali Belgia menyerang, Fellaini akan merangsek ke depan, membantu Romelu Lukaku bertarung di udara melawan dua bek tengah Perancis, Raphael Varane dan Samuel Umtiti.
Rencana Martinez berantakan. Fellaini yang menjadi pembuka kebangkitan Belgia saat kontra Jepang, bukan saja gagal menggoyahkan pertahanan Varane dan Umtiti. Dia juga alpa, lengah, tidak melihat dan akhirnya terlambat mengantisipasi pergerakan Umtiti saat menyambut tendangan penjuru yang menghasilkan gol semata wayang Perancis.
Martinez lalu menarik keluar Fellaini, menggantinya dengan Dries Martens. Sebelumnya, dia menukar Moussa Dembele dengan Yannick Carrasco. Jelas, Martinez bermaksud memindahkan konsentrasi serangan ke sayap. Carrasco dan Martens memang memiliki akselerasi bagus saat menusuk ke kotak penalti.
Namun alih-alih menekan ke dalam, keduanya ternyata justru lebih sering mengangkat bola. Padahal yang tersisa di kotak penalti hanya Lukaku, yang tak berdaya dijepit Varane dan Umtiti.
"Awak pikir Si Martinez ini enggak sadar kena jebak Deschamps," kata Sangkot. "Enggak sadar dia udah kena pancing sejak awal main. Enggak sadar dia pemain-pemain Perancis memang sengaja kasi orang tu masuk dan banyak pegang bola. Si Deschamps mau Martinez menyangka strateginya jalan dan dia berhasil."
Tok Awang tertawa. "Karma tu namanya. Lawan Brasil dia ngejebak, sekarang dia kenak jebak."
Sangkot, Mak Idam, Zainuddin, dan Ane Selwa, sejenak saling pandang, lalu saling menggeleng dan mengangkat bahu. Untunglah ada Ocik Nensi. "Jebak-menjebak ini memang mantap kali kalok berhasil," ujarnya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan mata dari layar televisi yang mengalirkan sinetron berlabel 'kisah nyata' berjudul "Perihnya Kena Jebakan Ipar-ipar Sialan."
Untuk kurang 10 menit Ocik Nensi nyerocos menceritakan kisah sinetron ini dan baru berhenti saat Pak Ko datang mengantarkan buah potong pesanannya. Pak Ko mengenakan kostum Real Madrid dan ini agaknya membuat Ocik Nensi teringat pada Ronaldo.
"Jadi macam mana, udah tahunya kelen kabar Ronaldo di Italia?"
"Masih gelap, Cik," sahut Sangkot.
"Kalok kelen udah ada dengar-dengar, kasi tau Ocik, yo."
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/belgia3_20180712_171447.jpg)