Kedai Tok Awang
Emasnya Ternyata Cuma Imitasi
Strategi terapan Didier Deschamps sesungguhnya tiada beda dengan Pelatih Brasil, Tite.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
BELGIA kalah dan euforia perihal generasi emas seketika berubah jadi melankolia. Di hadapan Perancis yang bermain pragmatis, dengan kepatuhan yang ketat pada strategi, para pemain Belgia tak berdaya.
Memang, mereka jauh lebih sering menguasai boleh dibanding saat menghadapi Brasil. Namun, justru di sini letak persoalannya. Tanpa banyak memegang bola, Belgia mampu memporak-porandakan pertahanan Brasil, menusuk dengan tajam lewat berbagai sisi, dan Eden Hazard, tentu saja, menjadi titik sentral.
Dari manapun dia bergerak, tak ada seorangpun pemain Brasil mampu merebut bola dari kakinya. Tidak Paulinho atau Fernandinho, gelandang-gelandang bertahan yang dikenal solid dan ganas pula.
Melawan Perancis, kedigdayaan Hazard lesap. Dia masih berlari-lari ke sana ke mari, tetapi sekadar berlari, tanpa bobot bahaya.
Strategi terapan Didier Deschamps sesungguhnya tiada beda dengan Pelatih Brasil, Tite. Dia juga menurunkan dua gelandang bertahan. Pembedanya, N'Golo Kante dan Paul Pogba, bermain lebih rapi, lebih dingin, dan lebih ketat. Apalagi mereka dibantu pula oleh Blaise Mautuidi yang bergerak tanpa henti seolah punya dua paru-paru. Mautidi baru berhenti setelah rusuknya terhantam lutut Hazard dalam satu momentum kemelut di depan kotak penalti Perancis.
"Itulah, sukak kali orang bikin-bikin istilah generasi emas. Dulu Brasil dibilang generasi emas. Inggris generasi emas. Sekarang Belgia pulak, tapi semuanya gagal. Justru yang enggak ada embel-embel kayak gitu yang berhasil," kata Tok Awang.
"Betul, Tok. Dulu Italia di 1982, tim kripak peyak malah juara," ujar Ane Selwa.
"Italia tahun 2006 juga sama, Ne," sambung Sangkot. Sudung yang sedang menonton video klip Siti Badriah di youtube, untuk kali ke-173, ikut menyambung. "Kasusnya sama pulak itu, suap. Tahun 1982, aku baca-baca, pemain yang jadi bintang malah pelaku suapnya. Sedap memang Italia ini!"
"Bukan cumak sedap lah itu," sahut Mak Idam. "Italia memang dahsyat. Paling enggak, yah, dulu dahsyat orang tu."
Mak Idam, suporter garis keras AC Milan, memaparkan sedikit kedahsyatan itu. Menurut dia, dibanding Italia di Spanyol pada 1982, skuat di Jerman 2006 melakukan hal yang lebih menakjubkan. Laga final melawan Perancis digelar pada 9 Juli. Tiga hari sebelumnya, jaksa Federasi Sepak Bola Italia, Stefano Palazzi, menyerukan agar lima klub yang terlibat dalam skandal, yakni Juventus, AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina, didegradasi dari Serie A. Juventus, sebagai biang keladi, bahkan dituntutnya didepak ke kompetisi Serie C.
Bukan ancaman yang main-main, tentunya. Sebab, bukan saja akan berdampak pada gonjang- ganjing di dalam negeri. Skuat Italia di Piala Dunia juga bisa hubar-habir. Padahal, tinggal selangkah lagi mereka menuntaskan perjalanan panjang.
Sebanyak 13 dari 23 anggota skuat Italia berasal dari empat klub tersangka. Masing-masing lima dari Juventus, lima dari Milan, dua dari Lazio, dan satu Fiorentina.
"Kabar dari pengadilan datang tiga hari menjelang final. Macam manalah itu galaunya orang tu. Tapi kelen tahu, kan, cemana akhirnya. Italia tetap juara," kata Mak Idam.
"Mental yang bicara sudah itu, Mamak," ucap Zainuddin. "Punya mental juara orang tu."
Tok Awang mengetuk meja dengan buku jarinya. "Pas, Pak Guru! Itulah yang mau aku bilang tadi. Tak ada itu embel-embel generasi emas. Kalok enggak punya mental, emasnya jadi tak berharga. Emasnya cuma imitasi. Tak ada bedanya orang tu sama tim di tahun 1986. Waktu itu enggak ada dibilang-bilang orang tu generasi emas. Masuk ke final jugaknya."
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/belgia3_20180712_171447.jpg)