Kedai Tok Awang
Kayaknya Bisa Ayam Jantan Ini Berkokok Lagi
Deschamps dan Aime Jacquet, sama-sama menggunakan dua gelandang tengah, satu striker dibantu tiga gelandang bertipikal menyerang.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Saat Piala Dunia 2018, Guivarc'h bermain untuk AJ Auxerre, sedangkan Giroud merumput bersama Chelsea. Walau berada di klub besar, Giroud, paling tidak sejak kepindahannya dari Arsenal pada tengah musim 2017-2018 sampai akhir musim, belum mendapatkan tempat utama di jajaran starting eleven.
"Rekam jejaknya nyaris sama. Aku yakin ini, setelah 20 tahun, Perancis akan juara lagi," ujarnya.
"Yakin kali, Pak Ko. Cemana kalok ternyata cumak era gagal. Kayak eranya Si Cantona yang banyak gaya itu," sahut Pak Udo. "Masih perempat final, Pak Ko. Masih jauh perjalanan. Yang cepat kalinya pulak Pak Ko main klaim. Uruguay ini lawannya. Ngeri main orang ni. Cemana kondisi, Jon?"
Jontra Polta, yang masih berkutat dalam negosiasi yang seru, sambil lalu bilang Uruguay dan Perancis terlibat dalam tujuh bentrok. Tiga di antaranya di Piala Dunia, masing-masing di tahun 1966, 2002, dan 2010. Ketiganya di luar era-era keemasan sepakbola Perancis tadi, dan hasilnya memang buruk. Satu kali kalah dan dua imbang. Total, Perancis hanya menang satu kali dari tujuh laga ini, yakni 2-0 di ajang Inter Continental Championship, 21 Agustus 1985.
"Biarpun cumak pertandingan tak resmi, pertandingan ini berjasa besar bagi Perancis. Zinedine Zidane yang baru 13 tahun menonton dan bertekad jadi pemain timnas Perancis," kata Pak Ko.
"Karena nengok Platini main, Pak Ko?"
"Bukan, bukan Platini. Dia jadi tergila-gila pada Enzo Francescoli, pemain Uruguay. Sampek anaknya pun dia kasi nama Enzo."
"Ya, ya, Francescoli. Pernah dengar awak nama itu," kata Sudung. "Gelandang kelas ini dulu. Sayangnya, tak ada kawan dia. Kelas sendirian dia, percuma ajalah."
"Nah, itu dia yang jadi problem Uruguay. Dulu gelandangnya kelas, strikernya lemah. Sekarang tebalek. Strikernya kelas-kelas, gelandangnya tak kelas. Maksud aku, tak kelas, kalok dibandingkan striker-striker orang tu. Ada Cavani, ada Suarez."
"Cavani kayaknya enggak main, Pak Ko," sahut Jontra Polta dari meja seberang. "Masih cedera. Kalok pun main dia besok, pasti enggak akan jujut larinya."
"Nah, itu, dengar kelen. Apalagi Cavani enggak main pulak. Makin di atas anginlah Perancis."
"Tapi, Pak Ko," sergah Mak Idam. "Bek-bek Uruguay, kan, kelas. Cemana itu?"
Pak Ko berdehem, lalu menghempas nafas. "Jadi gini, Mak Idam. Setahu aku, bek Uruguay yang kelas itu cumak Si Godin, pemain Atletico itu. Yang lain, yah, rata-rata air aja. Bagus-bagus jambulah. Godin bisa atur mereka semua dan jadi pertahanan yang solid waktu lawan Portugal. Masalahnya, Perancis punya Pogba, punya Kante, punya Tolisso. Di depan ada Mbappe, ada Giroud, ada Greizmann. Perancis bukan Portugal yang cumak ngandalkan Ronaldo."
"Eh, apa lagi cerita ni singgung-singgung Ronaldo," Ocik Nensi yang baru pulang belanja tiba-tiba menimpali. "Udahlah, udah kalah pun dia masih jugak kelen ejek-ejek. Macam tak ada puas-puasnya. Kayak tim hore-hore pilkada aja kelen kutengok."
Sudung awalnya hendak buka mulut. Namun lantaran teringat dua insiden sebelumnya yang berujung pada peringatan Ocik Nensi untuk melunasi utang, dia membatalkan niat. Hanya kakinya yang bermain di bawah meja, menyepak kecil ujung sepatu Pak Ko, lalu senyum-senyum dikulum.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/uruguay2_20180706_161733.jpg)