Kedai Tok Awang
Kayaknya Bisa Ayam Jantan Ini Berkokok Lagi
Deschamps dan Aime Jacquet, sama-sama menggunakan dua gelandang tengah, satu striker dibantu tiga gelandang bertipikal menyerang.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
SEJAK tahun 1980 an, Perancis terus melahirkan generasi-generasi pemain bola yang aduhai. Generasi yang membuat mereka bertahan di level atas dan selalu masuk unggulan di tiap kompetisi besar.
Era Michael Platini dan era Zinedine Zidane telah mendapatkan tempat mereka sendiri dalam sejarah. Era Platini, mencapai puncak kejayaan pada tahun 1982-1986. Dengan kuartet lini tengahnya yang dahsyat: Luis Fernandez, Alain Giresse, Jean Tigana, dan Platini, Perancis menjadi kampiun Euro 1984.
Dua tahun berselang, Piala Dunia di Meksiko, skuat ini, dengan tambahan beberapa pemain muda di antaranya Jean Pierre Papin yang di kemudian hari menjadi bintang, melaju sampai ke babak semifinal. Mereka kalah 0-2 dari Jerman.
Setelah ini, sepakbola Perancis meredup dan baru bangkit lagi di tahun 1996. Walau terhenti di semifinal setelah kalah adu penalti dari Czech Republic, tahun ini menjadi penanda awal kecemerlangan era Zinedine Zidane.
Dibanding era Platini, kecemerlangann era Zidane berumur lebih panjang. Semifinalis Euro 1996, juara Piala Dunia 1998, dan juara Euro 2000. Setelah sempat terpuruk di Piala Dunia 2002 dan dipulangkan Yunani di Euro 2004, Perancis kembali menunjukkan greget di Piala Dunia 2006. Mereka melesat sampai ke final, bertahan hingga akhir babak perpanjangan waktu, hingga insiden tandukan Zidane ke dada Marco Materazzi, memberi dampak psikologis yang besar. Perancis kalah 3-5 dan Italia juara Piala Dunia untuk kali keempat.
"Sebelum era Zidane, maksudnya antara era Platini dan Zidane, itu ada era transisi. Paten jugak itu. Sayangnya lebih sering kenak sial," kata Pak Ko yang nimbrung percakapan Mak Idam, Tok Awang, Pak Udo, dan Sudung, sejurus mengantarkan buah potong pesanan Jontra Polta yang sedang bernegosiasi dengan seorang calon pembeli mobil.
Di kedai Tok Awang, Pak Ko menjadi satu-satunya orang yang menjagokan Perancis. Selain Jontra Polta, tentu saja. Namun Jon sesungguhnya memang tidak perlu dihitung lantaran dia mendukung tim manapun yang kira-kira bisa mendatangkan untung.
"Iya, aku ingat David Ginola, Pak Ko," kata Sudung.
"Betul, Ginola. Tapi bukan dia kepala kodinya. Ada Jean-Pierre Papin. Ada Eric Cantona. Selain itu, ada jugak pemain-pemain yang nantinya sempat jadi bagian dari era Zidane. Ada Desaily, Blanc, Petit, Desailly, dan Didier Deschamps."
"Ya, ya, Deschamps pelatih Perancis sekarang. Dia yang jadi kapten waktu Perancis juara dunia tahun 1998 dan Euro 2000," ujar Sudung.
"Kalok gitu, ketimbang era Zidane lebih pas disebut era Deschamps lah, Pak Ko," ucap Tok Awang menimpali.
"Waktu Deschamps kapten Perancis juara. Waktu Zidane kapten enggak juara. Malah kenak kartu merah dia gara-gara nandok Materazzi," kata Mak Idam menyambung.
Pak Ko terkekeh-kekeh saja. Terserah mau bilang era mana, katanya. "Mau era Deschamps boleh. Era Zidane pun mantap. Mana baiknya aja. Cumak yang mau aku bilang di sini, setelah dua era emas tadi, Perancis sekarang sedang menuju era emas mereka selanjutnya. Kayaknya bisa ayam jantan ni bekokok lagi."
Pak Ko lalu memapar perihal skuat Les Bleus --julukan tim nasional sepakbola Perancis-- sekarang yang disebutnya sebagai reinkarnasi dari skuat era Platini dan era Zidane. Terutama era Zidane, sebab Deschamps dan Aime Jacquet, sama-sama menggunakan dua gelandang tengah yang cenderung defensif dan satu striker yang dibantu tiga gelandang bertipikal menyerang.
Deschamps dan Emmanuel Petit pada 1998 dengan Paul Pogba dan N'golo Kante di 2018. Di depan mereka ada Zidane, Christian Karembeu, dan Youri Djorkaef berbanding Kylan Mbappe, Antoine Greizmann, dan Ousmane Dembele. Mereka sama-sama menyokong striker yang sesungguhnya tidak terlalu meyakinkan. Olivier Giroud sekarang dan Stephane Guivarc'h 20 tahun lalu.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/uruguay2_20180706_161733.jpg)