citizen reporter
Lama Tak Mendengar Ceritamu Hai Perempuan!
Rasanya sudah cukup lama kita tak mendengar kisah tentang perempuan Nusantara yang gemilang
Usia Tjoet baru 12 tahun ketika dia dinikahkan. Teuku Ibrahim suaminya, adalah panglima perang yg pantang tunduk pada kaphe-kaphe (kafir-kafir, sebutan untuk penjajah Belanda). Pada masa kecilnya, Tjoet Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Teringatlah Tjoet Nyak kepada Teuku Ibrahim suaminya. Tjoet Nyak bilang, suara Ibrahim merdu saat membaca Quran dan saat bercerita. Ia kerap mengisahkan, agama tidak hanya mengatur kehidupan, tapi menegakkan keadilan.
Kaphe Belanda akan membumihanguskan Tanah Aceh. Semua warga bersumpah membela aceh, cuma Teuku Neh yang jadi penghianat. Dalam buku diceritakan bahwa Neh, Ulubalang Merasa, sejak kedatangan Belanda sudah menyatakan takluk dan siap membantu. Merasa yang berada di tepi pantai sangat strategis bagi pendaratan kapal-kapal Belanda. Dan dari sinilah meriam-meriam kapal Belanda memborbadir benteng pertahanan Aceh.
Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Teuku Ibrahim masih punya 200 orang prajurit, sementara penguasa Pidie hendak mengutus 1500 prajuritnya.
Hari kelima datang kapal-kapal dari Ambon dengan senjata yang lengkap. Tjoet masuk ke pedalaman. Tapi belum terlalu jauh dia melangkah, kabar buruk tiba. Mesjid Agung dibakar Belanda! Tjoet kembali ke medan tempur. Dia pun menggelorakan semangat bertempur pasukannya. Hari itu ribuan mayat bergelimpangan, perempuan dan anak-anak siap mengungsi, para lelaki ke medan perang. Ibrahim berkemas, tp sebelum pergi dia sempat berpesan, "Tjoet Nyak, ada 70 orang pasukan yang bisa kau pergunakan jika terjadi sesuatu denganku," kenang Tjoet Nyak.
Tjoet meyakinkan diri bahwa suaminya bakal pulang. Di langit seekor burung berkepak cemas. Mendung menggaytut. Tjoet Nyak hanya bisa memandang punggung lelakinya yang kemudian hilang. Pada hari itu puluhan orang mengusung tandu. Sebuah lubang di kepala Ibrahim telah mengakhiri hidupnya. "Insyaallah Teuku, aku ikhlas," pedih hati Tjoet Nyak.
Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Satu persatu para sahabat berguguran, kondisi ini ikut memudarkan perjuangan. "Kami memang hancur, tapi tidak ada kata menyerah," tutur Tjoet Nyak Dhien.
Di tengah kehancuran, Tjoet Nyak melihat seorang lelaki yang tegap. Dialah Teuku Umar. Ia melamar Tjoet, tapi ditolak awalnya. Namun akhirnya diterima. Umar dan Tjoet adalah harapan baru. Istana Raja sudah dikuasai oleh Kaphe Belanda yang kemudian membangun pasar dan sarana sosial lainnya di sana, seolah Tanah Aceh adalah milik mereka.
Selanjutnya berlangsunglah kejadian yang sangat terkenal dalam Perang Aceh, mengenai siasat Teuku Umar. Teuku Umar berpura-pura membantu Belanda dan dapatlah ia kedudukan sebagai seorang panglima kepercayaan Belanda. Setelah semakin besar kuasanya, sampai mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan, Teuku Umar berbalik menyerang Belanda. Dia membawa serta uang dan persenjataan dari kumpeni sebagai modal perlawanan Belanda.
Ketika Teuku Umar melakukan perlawan dan menyatukan seluruh pejuang Aceh dalam satu laskar pimpinannya. Tapi, meriam Belanda tak bisa ditaklukkan. Teuku Umar pun akhirnya gugur. Dan akhirnya Cut Nyak Din dengan bantuan dari sisa-sisa pasukan Teuku Umar melanjutkan perlawanannya.
"Allah bersamamu Umar" kata Tjoet Nyak.
Tjoet tinggal di hutan liar. Dia sangat akrab dengan hutan, bahkan pada tiap drngus napas dan langkah, dia sudah bisa mendengarnya dari kejauahan. "Masih bisa kudengar degup jantung kaphe saat nyawanya hilang di ujung rencong."
Tjoet Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya.
pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Tjoet Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba pasukan.