citizen reporter
Lama Tak Mendengar Ceritamu Hai Perempuan!
Rasanya sudah cukup lama kita tak mendengar kisah tentang perempuan Nusantara yang gemilang
Citizen Reporter Oleh: Catatan Kaki Jodhi Yudono
Rasanya sudah cukup lama kita tak mendengar kisah tentang perempuan Nusantara yang gemilang. Perempuan Nusantara yang tangguh sekaligus memelihara sifat keibuan. Bukan perempuan yang berlomba-lomba menegakkan egonya sebagai perempuan yang mampu menundukkan dan mengalahkan lelaki.
Kini, kita pun selalu mengulang-ulang kisah tentang perempuan hebat yang tetap menjaga rumah tapi sekaligus ingat bangsanya. Di sana ada Tjoet Nyak Dhien, Tjoet Muetia, RA Kartini, Dewi Sartika, dan terakhir ada Tri Risma Harini.
Seminggu lagi kita akan memperingati Hari Kartini, sebuah hari untuk menghormati perempuan kelahiran Mayong, Jepara, bernama RA Kartini yang lahir pada 21 April 1879. Sebuah hari untuk kita kembali mencecap semangat kaum ibu yang telah memelihara kehidupan menjadi lebih baik, menjadi lebih harmoni yang dipenuhi kasih sayang.
Melalui pengetahuan dan kecakapannya menulis dan berbahasa asing, Kartini yang terikat dalam tradisi Jawa kala itu--yang menempatkan perempuan cuma "di dapur"--, beroleh kesempatan membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Kartini pun tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Tigapuluh satu tahun sebelum Kartini lahir, ada juga seorang perempuan utama yang mempersembahkan jiwa raganya untuk kehidupan, untuk bangsanya di ujung barat Nusantara. Dialah Tjoet Nyak Dhien yang lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 dan meninggal di Sumedang pada 6 November 1908.
Ini tahun ke 105 Kepergian Tjoet Nyak, seorang perempuan yang tercatat di lembaran negara sebagai pejuang asal Aceh yang melawan keserakahan dan ketamakan penjajah yang mengangkangi tanah dan kehormatan Aceh sebagai sebuah negeri dan sebuah bangsa.
Minggu sore, 13 April saya diingatkan kembali tentang perempuan dahsyat itu. Perempuan yang tak sekedar sebagai isteri dan ibu, melainkan juga tempat berlindung serta pemicu keberanian bagi kaumnya.
Melalui dramatik reading yang dibawakan ole Sha Ine Febriyanti, sosok Tjoet Nyak Dhien pun dihadirkan kembali di panggung Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Tersebutlah, Tjoet Nyak yg telah renta, buta, dan jauh dari tanah kelahiran terkenang akan masa lalunya. Ya, pada sebuah pagi, Tjoet Nyak Dhien yang telah disebratkan oleh penjajah dari tanah leluhurnya seperti sedsang membacai kembali tanah leluhurnya: Nagroe!
Maka Nangroe pun disebut-sebut dalam sunyinya, dalam kepedihannya. Katanya, orang bisa direnggutkan dari tanah kelahiran, tapi tak bisa diremggutkan dari cinta atas saudara-saudaranya bangsa Aceh yang telah ditindas oleh bangsa penjajah.
Nangroe, Nangroe, lalu nyanyian yang larat itu membelah pagi yang beku. Tjoet Nyak pun lalu ingat akan anaknya yang selalu dininabobokan dengan cerita tentang Makhudun Sati, kakek moyangnya yang memiliki riwayat hebat yang telah menginspirasi gerakan perjuangan Tjoet Nyak.
Tersebutlah, Datuk Makhudum Sati dan pengikutnya pergi merantau ke wilayah pantai barat Aceh atau sekitar Meulaboh sekarang sekitar abad ke-18 ketika Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir (1711-1733).
Datuk Makhudum Sati kemudian mengembangkan pertanian lada di wilayah pantai barat Aceh tersebut, sehingga membuat wilayah itu menjadi hidup perekonomiannya. Kemajuan ekonomi wilayah itu akhirnya diketahui oleh Sultan Aceh yang kemudian mengutus orang kesultanan untuk memungut pajak/upeti ke sana. Setelah beberapa kali membayar upeti, akhirnya Datuk Makhudum Sati melakukan pembangkangan yang membuat Sultan menjadi murka. Datuk Makhudum Sati kemudian dibawa ke ibu kota kesultanan, Banda Aceh, dan kemudian menjalani hukuman yang sangat berat. Namun hukuman berat tersebut tidak membuatnya mati, sehingga Sultan akhirnya memberi pengampunan dan mempercayainya sebagai penjaga taman istana yang juga berarti penjaga keamanan sekitar istana Sultan.
Keturunan Datuk Makhudum Sati
Datuk Makhudum Sati kemudian diberi gelar Nanta Seutia Raja karena kesetiaannya dalam pengabdian pada sultan, bahkan diberi kekuasaan di VI Mukim untuk turun temurun. Ia mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Seutia dan Teuku Cut Mahmud. Sepeninggal Datuk Makhudum Sati anaknya yang bernama Teuku Nanta Seutia kemudian melanjutkan kepemimpinan sebagai uleebalang VI Mukim.
Teuku Nanta Seutia kemudian mempunyai anak yang bernama Tjoet Nyak Dhien, yang dikenal sebagai pemimpin perang Aceh dan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sedangkan Teuku Ahmad Mahmud yang menikah dengan adik uleebalang Meulaboh mempunyai anak yang bernama Teuku Umar, yang juga dikenal sebagai pemimpin perang Aceh dan juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia.