Sumut Terkini
Usai Bentrok, PT TPL dan Lamtoras Akhirnya Dipertemukan Pemkab Simalungun
Dalam pertemuan ini, keduanya juga saling lempar klaim atas tanah di area Sipolha itu.
Penulis: Alija Magribi | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com, SIANTAR- Manajemen Direksi PT TPL dan Komunitas Adat Sihaporas (Ambarita) akhirnya bertemu dalam rembuk damai yang digagas Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Simalungun di Balei Harungguan Djabanten Damanik pada Rabu (24/9/2025) siang.
Pertemuan ini terwujud usai kedua pihak bentrok darah di Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun pada Senin (22/9/2025) kemarin.
Dalam pertemuan ini, keduanya juga saling lempar klaim atas tanah di area Sipolha itu.
Jandres H Silalahi mewakili Direksi PT TPL menyebut bahwa perusahaan bubur kertas yang ia pimpin bersama beberapa nama lain memiliki hak kelola hutan produksi sejak tahun 1992.
Setiap tahunnya, kerangka kerja yang mereka lakukan telah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“PT TPL adalah perseroan penanaman modal asing yang bergerak pada industri bubur kertas. Salah satu kabupaten yang menjadi konsesi PT TPL adalah di Simalungun. Di sini, kita mengelola 18.874 hektare dan yang sudah kita tanami ada 9.188 hektare,” kata Jandres.
Terang Jandres, kegiatan perusahaan selama 33 tahun ini mengalami banyak tantangan.
Termasuk konflik dengan masyarakat Sihaporas, yang menurutnya volume tanam hanya 50 persen.
“Kami melakukan kerangka kerja setiap tahunnya dengan atensi kementerian. Perlu kami sampaikan bahwa sejak melakukan operasional di Simalungun ada 3 lokasi yang terjadi konflik,” kata Jandres.
PT TPL berkonflik dengan Komunitas Adat Siallagan di Dolok Parmonangan (Siallagan); Komunitas Adat Silambu (Sinaga) di Girsang; dan Komunitas Adat Sihaporas (Ambarita).
Ia menyebut bahwa PT TPL memiliki hak secara hukum untuk mengelola hutan produksi.
Walaupun begitu, PT TPL, ujar Jandres, siap menjalin komunikasi dengan komunitas-komunitas adat tersebut.
“Saat ini kami mengalami tantangan karena mengalami konflik di lingkungan areal kerja dengan keluarga kita Lamtoras yang secara administratif di dalam peta areal kerja kami yang di Sipolha,” katanya.
Sementara itu, Mangitua Ambarita selaku tetua Adat dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), menjelaskan bahwa leluhur mereka sudah datang ke Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik sejak tahun 1800-an.
Sesuai namanya, ujar Mangitua, bahwa mereka berasal dari Ambarita, Samosir dan bermukim di kawasan Sihaporas.
Kehidupan di hutan tersebut sudah mereka lakukan sejak delapan keturunan.
“Kami sudah ada sebelum PT TPL datang. Leluhur kami, Ompu Mamontang Laut Ambarita sebagai Tuan Sihaporas menyepakati sumpah-janji batas tanah dengan saudara kami di Raja Siantar, Damanik,” kata Mangitua.
Seiring berjalannya waktu, ujar Mangitua, keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita hidup turun temurun di wilayah Sipolha.
Bahkan mereka memiliki mata air yang saat ini dipakai pihak PT TPL untuk kehidupan industrinya.
Wakil Bupati Simalungun, Benny Sinaga meminta semua pihak untuk menjaga emosi. Ia menyebutkan bahwa pertemuan selanjutnya akan diagendakan sehingga tidak terjadi lagi konflik sosial di Sipolha.
"Rapat koordinasi ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan fasilitasi keutuhan sosial di masyarakat. Kita semua harus mampu memberikan langkah-langkah kongkret. Bahwa konflik lahan bukan hanya sebatas hak, tapi memiliki sejarah," katanya.
Pemangku Adat Simalungun Tolak Klaim Sihaporas dan Peringati PT TPL
Ketua Lembaga Pemangku Adat Simalunguh (LPAS), Jantoguh Damanik menentang keras klaim sejarah tanah ulayat di kawasan Sipolha oleh Komunitas Adat Sihaporas-Ambarita.
Ia menjelaskan bahwa tidak ada istilah tanah adat di Simalungun, dan tak ada sejarah pemberian tanah oleh Kerajaan Nagur (berkembang Kerajaan Maropat dan Marpitu) kepada warga pendatang di Simalungun.
“Tidak bisa sembrono masyarakat luar masuk ke Simalungun ini. Simalungun ini punya kerajaan, terstruktur dan punya kewenangan,” kata Joantoguh.
“Saya selalu bilang, hak milik sertifikat tanah, itu sah. Tetapi kalau diklaim ini tanah leluhur, kami (Suku Asli Simalungun) lebih berhak. Karena kami masyarakat asli Simalungun,” kata Jantoguh.
Jantoguh menjelaskan bahwa pihaknya bersama dengan Partuha Maujana Simalungun tidak ingin memanasi persoalan konflik antara PT TPL dan Komunitas Sihaporas.
“Apa yang harus dilakukan adalah kami menyurati kementerian, komnas HAM, Ombudsman dan bahkan ke presiden. Inti dasarnya adalah masyarakat setempat harus didahulukan dengan kearifan lokal. Nanti kita bisa repot. Kalau semua yg datang ke Simalungun menuntut Adat,” pungkasnya.
Tokoh-tokoh Simalungun juga mengingati PT TPL untuk tidak lalai dalam mengelola hutan produksi yang ada di Simalungun.
“Kalau lalai, kami akan rebut ini. Jangan ambil kesempatan di sini. Oleh karenanya, hukum yang benar kita kerjakan. Kalau memang ada pendekatan lain, modulasi lain, itu aja ambil untuk dilakukan kepada masyarakat Sihaporas. Mana tahu butuh CSR, Bantuan Sosial,” pungkasnya.
(alj/tribun-Medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
| Polda Sumut Proses Kasus Pejabat Disdukcapil Batubara yang Digerebek di Hotel dengan Istri Orang |
|
|---|
| Pejabat Disdukcapil Batubara Digerebek Tanpa Busana di Hotel Bareng Honorer di Medan |
|
|---|
| Alexander Sinulingga yang Masuk Dalam Lingkaran Bobby Nasution Diperiksa, Ini Kata BKD Sumut |
|
|---|
| Kebakaran Pasar Tradisional Sidikalang, 45 Lapak Pedagang Pakaian Bekas dan Lainnya Hangus |
|
|---|
| Para Pihak Damai, Kejatisu Selesaikan Kasus Pencurian Brondolan Sawit Lewat Restoratif Justice |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Manajemen-Direksi-PT-TPL-dan-Komunitas-Adat-Sihaporas.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.