Berita Nasional

Sudah Jadi Kapolda Sulsel, Sosok Brigjen Djuhandani, Rekam Jejaknya Pernah Klaim Ijazah Jokowi Asli

Djuhandhani menggantikan Irjen Pol Rusdi Hartono yang baru menjabat sebagai Kapolda Sulsel selama lima bulan.

Youtube Kompas TV/KOMPAS.com/Lalu Muammar Q.
DIRTIPIDUM POLRI- Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro disorot usai mengumumkan hasil penyelidikan dan Laboratorium Forensik (Labfor) ijazah Jokowi, dalam konferensi pers 

Dugaan pemalsuan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) dalam pagar laut tersebut.

Kasus ini melibatkan Kepala Desa Kohod, Arsin, serta Sekretaris Desa Kohod, UK, dan beberapa pihak lain ditetapkan tersangka pada 24 Februari 2025.

Pada 2021, Djuhandhani menangani kasus kematian mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Gilang Endi Saputra.

Gilang tewas setelah mengikuti Pendidikan Dasar Resimen Mahasiswa (Menwa).

Selain itu, Djuhandhani juga pernah menangani kasus laporan ijazah palsu mantan Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo.

Penyelidikan itu menyusul pengaduan dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang melaporkan dugaan pemalsuan ijazah S1 milik Jokowi.

Dalam kasus itu, Djuhandhani memeriksa 39 orang saksi, termasuk pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Jokowi sendiri.

Saat itu dia menyampaikan,  laporan tersebut mencantumkan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 263, 264, dan 266 KUHP, serta Pasal 68 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Namun dari hasil pendalaman, tidak ditemukan indikasi tindak pidana.

Dalam penyelidikan yang mencakup 13 lokasi, termasuk SMA Negeri 6 Surakarta dan Universitas Gadjah Mada, ditemukan sejumlah dokumen pendukung mulai dari STTB, formulir pendaftaran, Kartu Hasil Studi, surat keterangan praktek, hingga ijazah asli.

Semua dokumen tersebut telah diuji secara forensik dan dinyatakan identik serta valid.

“Ijazah asli S1 dengan nomor 1120 telah diuji secara forensik, dan dinyatakan identik dengan dokumen pembanding," kata dia.

"Skripsi juga ditemukan dan terbukti dibuat dengan mesin ketik serta teknik cetak sesuai periode 1985,” jelas Djuhandhani.

Lebih lanjut, Polri juga menegaskan, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) tidak terdaftar secara resmi sebagai lembaga berbadan hukum di Kementerian Hukum dan HAM.

Meski telah menyimpulkan tidak adanya unsur pidana, proses masih berada pada tahap penyelidikan. Polri belum menaikkan kasus ke tahap penyidikan karena tidak ditemukan dasar hukum yang cukup.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved