Ibu Ancam Akhiri Hidup bila Anaknya Menolak Menikah, Pernikahan hanya Bertahan 6 Bulan

Sejumlah komentar lain menyoroti budaya pernikahan di Tiongkok. Sebagian menilai bahwa dalam masyarakat, cinta bukanlah masalah utama, yang penting menikah.

Kebahagiaan juga bukanlah faktor terpenting, yang utama hanyalah status pernikahan.

Ada pula yang menegaskan bahwa banyak orang tua menikahkan anak semata-mata demi memenuhi keinginan pribadi, bukan demi kebahagiaan anak.

Mereka sering beralasan bahwa hal itu dilakukan demi masa depan anak, padahal kenyataannya justru lebih mencerminkan sikap egois.

Fenomena pernikahan paksa kini menjadi salah satu masalah sosial serius di Tiongkok. Data resmi menunjukkan jumlah pasangan menikah di negara tersebut menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2013, tercatat sekitar 13,5 juta pasangan menikah. Namun, pada 2022 jumlah itu anjlok hingga hanya 6,8 juta pasangan.

Penurunan angka pernikahan ini dinilai sebagai dampak dari berbagai faktor, mulai dari tekanan ekonomi, perubahan pola pikir generasi muda, hingga sikap orang tua yang terlalu menekan anak.

Banyak keluarga masih berpegang pada pandangan tradisional bahwa anak harus menikah untuk menjaga martabat keluarga dan menghindari malu di mata masyarakat. Karena itu, mereka mendorong atau bahkan memaksa anak-anaknya untuk segera menikah.

Namun, cara pandang ini justru sering menimbulkan masalah baru. Tekanan berlebihan sering kali memperburuk situasi, membuat pernikahan tidak sehat, bahkan berujung pada perceraian singkat seperti kasus yang dialami Xiao Jin.

Para pakar menilai, selama praktik perjodohan paksa masih terjadi, kasus serupa berpotensi terus berulang dan menambah angka perceraian di Tiongkok.

(cr31/tribun-medan.com)