Breaking News

Bertahan di Tengah Kemarau Panjang, Lonjakan Harga Gabah dan Krisis Iklim

Kemarau yang dirasakan masyarakat petani di Sumatera Utara sejak awal tahun telah menimbulkan dampak serius bagi sektor pertanian.

Editor: Eti Wahyuni
Tribun Medan/HO
Pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Pertanian Berkelanjutan dari 3 desa (Kebun Kelapa, Teluk dan Telaga Jernih), Kec Secanggang, Langkat 29 Juli 2025 di Desa Kebun Kelapa. 

TRIBUN-MEDAN.com, SECANGGANG - BMKG telah mengeluarkan prediksi, musim kemarau 2025 di sebagian besar wilayah Indonesia akan datang lebih lambat dari biasanya dan memiliki durasi yang lebih pendek. Puncak musim kemarau diperkirakan akan terjadi pada Juli hingga Agustus.

Kemarau yang dirasakan masyarakat petani di Sumatera Utara sejak awal tahun telah menimbulkan dampak serius bagi sektor pertanian.

Di tengah ancaman gagal panen, harga gabah di beberapa wilayah seperti Deliserdang dan Serdangbedagai dilaporkan melonjak hingga Rp 7.300 per kilogram, jauh di atas rata-rata nasional.

Rata-rata petani pada wilayah dampingan BITRA Indonesia, di Kabupaten Langkat, Deliserdang, Serdangbedagai dan Simalungun mengeluhkan penurunan hasil panen akibat kekeringan ekstrem dan keterbatasan air irigasi.

Baca juga: Pertanian Terancam Gagal Panen, Dampak Musim Kemarau Berkepanjangan di Dairi 

“Parahnya lagi, di Simalungun masih terjadi serangan hama tikus dan pembagian air dari sumber-sumber air (sumbul) dari pemerintah yang tidak jelas mengakibatkan ramai sekali petani yang beralih pada tanaman jagung, padahal jagung kini bukan tanaman pangan, namun tanaman industri,” kata Rusdiana Adi, Direktur BITRA Indonesia.

Di sela-sela kegiatan tanam perdana SLI Pertanian Berkelanjutan pada 29 Juli 2025 di Demplot, Desa Kebun Kelapa, Secanggang, Langkat.

Luas panen di Sumatra Utara pada Januari 2025 tercatat mencapai 32.606 Ha, namun hasilnya tidak optimal karena stres tanaman akibat suhu panas yang terlalu ekstrem.

Meski harga gabah tinggi, namun tidak selalu menguntungkan petani, karena biaya produksi juga meningkat dan tidak semua petani mampu menjual langsung ke pasar dengan harga yang baik.

Meski kemarau biasanya menyebabkan kenaikan harga gabah, data menunjukkan bahwa sebagian wilayah Sumatra Utara justru mengalami fluktuasi harga. Di beberapa titik, harga gabah sempat turun hingga Rp 6.000 per kg, di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

 “Kondisi-kondisi tersebut, memaksa petani dampingan dan Yayasan BITRA Indonesia melakukan terobosan dan inovasi kecil untuk bertahan atau menciptakan resiliensi dari dampak-dampak iklim berupa; Sekolah Lapangan Iklim (SLI) Pertanian Berkelanjutan, menggali kearifan lokal dalam penyemaian bibit padi dengan sistem lacak, yang dipercaya akan menghasilkan bibit padi yang lebih besar, kuat dan tahan dari dampak perubahan iklim dan peningkatan pengetahuan petani dengan melakukan pemetaan masalah lokal desa, potensi bencana dan dampak dari perubahan iklim di desanya,” kata Berliana Siregar, Manajer Program Community Development &Environment (CDE) BITRA Indonesia.

Strategi yang diterapkan BITRA menyatukan pengetahuan berbasiskan kearifan lokal dan  pengalaman petani disatukan dalam aksi nyata dalam SLI berupa, belajar menentukan jarak tanam sesuai cuaca dan pola iklim, merancang persemaian sistem lacak dengan memperkirakan prediksi musim, menyiapkan alat dan benih yang tahan terhadap cuaca ekstreme, Pola pertanian organik dan cara menanggulangi hama secara alami.

SLI yang dilakukan BITRA di Desa Kebun Kelapa bersama petani dari desa Kebun Kelapa, Teluk dan Telaga Jernih, Kecamatan Secanggang, Langkat bekerja sama dengan Aliansi Organis Indonesia (AOI), Dinas Pertanian, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan)Medan dan Ir Soekirman yang merupakan Duta Organik Asia, mempraktikkan Demonstration Plot (Demplot)seluas 3.200 m⊃2; untuk membuktikan dan membandingkan hasil pola sistem organik dan pertanian konvensionaldengan tanaman padi varietas Mentik Susu dan Cibatu.

“SLI ini bukan hanya transfer ilmu, tapi juga proses membangun kesadaran baru—bahwa keberhasilan pertanian ke depan tak bisa hanya mengandalkan kebiasaan lama. Petani diajak berpikir kritis, membaca tanda-tanda alam, dan bertindak cepat demi keberlanjutan panen.Kami percaya, langkah kecil seperti ini akan memberi dampak besar bagi masa depan pangan dan lingkungan kita. Karena saat petani berdaya, desa pun berketahanan,” kata Ir Soekirman, Duta Organik Asia.

 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved