Sumut Terkini

Stigma Hambat Difabel dan ODHIV Dapat Kerja

Marilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia mengatakan, penyandang disabilitas adalah subyek berdaya dan bukan obyek yang dianggap beban

Editor: Jefri Susetio
TRIBUNMEDAN/JEFRI SUSETIO
BURUH TAK PERNAH TUNGGAL: Perempuan Hari Ini berkolaborasi dengan Tribun Medan menggelar podcast. Pada podcast ini mengundang tiga narasumber yakni Merilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Pardiansyah dari Kumpulan Orang-orang Sehati (KOOS) Medan dan Edukator dan Penulis Nurul Nayla Azmi Dalimunthe. Adapun host pada acara ini, Lusty Ro Manna Malau dari Perempuan Hari Ini. 

TRIBUNMEDAN.COM, MEDAN - Stigma negatif masih santer menimpa penyandang disabilitas antara lain dianggap tidak mampu bekerja akibatnya peluang difabel untuk menjadikan dirinya berdaya dan mandiri terhambat. 

Marilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia mengatakan, penyandang disabilitas adalah subyek berdaya dan bukan obyek yang dianggap menjadi beban sosial masyarakat.

Akses lapangan kerja yang setara bagi mereka akan membuat orang disabilitas berkembang. 

Baca juga: PESAN Bobby Nasution saat Lantik 60 Pejabat: Loyal, Loyal, Loyal dan Pintar

 

"Kalian orang dengan disabilitas melamar pekerjaan, ada banyak kesulitan dari sisi kalian sendiri. Sedangkan di luar sana ada banyak orang yang jauh lebih bagus dari kalian. Kenapa kami harus menerima kalian," ujarnya pada podcast kolaborasi Harian Tribun Medan dengan Perempuan Hari Ini dengan topik Buruh tak Pernah Tunggal, Refleksi Hari Buruh Internasional 2025 belum lama ini. 

Podcast itu mengundang tiga narasumber yakni Merilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Pardiansyah dari Kumpulan Orang-orang Sehati (KOOS) Medan. Dan, Edukator dan Penulis Nurul Nayla Azmi Dalimunthe. 

Adapun host pada acara ini, Lusty Ro Manna Malau dari Perempuan Hari Ini. Podcast ini disiarkan di seluruh akun media sosial Tribun Medan. 

Ia menjelaskan, ucapan yang disampaikan pelaku usaha itu sangat menyakitkan dirinya. Alhasil, rekannya sesama disabilitas berdiri lalu memberikan kalimat yang cukup bijak. 

"Ada teman saya eselon III di Jawa dan ada juga eselon II," katanya menirukan percakapan rekan sesama disabilitas yang berdiri. 

Lebih lanjut ia bilang, bersama lima teman tunanetra mendirikan sekolah. Kini, mereka bisa memberikan pekerjaan terhadap orang lain. 

"Mengapa ada stigma orang dengan disabilitas dan ODHIV tidak bisa bekerja? Begitu tahu orang positif ODHIV langsung dibilang menular. Kebetulan saya ikut penelitian pada sebuah universitas di jawa, masih banyak stigma, ditanya berani tinggal sama orang ODHIV? Jawabannya tidak. Apalagi mau bekerja sama pasti orang mikir-mikir stigma buruk. Ironi memang," ujarnya. 

Meskipun kesempatan kerja bagi disabilitas kian terbuka, masih banyak pekerjaan rumah terkait keberadaan karyawan disabilitas di sektor formal. 

Oleh sebab itu, perlu didukung pengembangan kemampuan serta keterbukaan perusahaan dalam penerimaan karyawan disabilitas. 

"Masih minimnya orang disabilitas bekerja di sektor formal itu karena belum mau, bisa. Dan belum mampu juga bisa. Jadi kenapa tidak bisa bekerja ya karena tidak punya pendidikan, lantas kenapa tidak berpendidikan karena akses "jalannya" menuju sekolah itu susah," katanya.  

Menurutnya, orang disabilitas agak sulit bekerja di sektor formal. Banyak faktor yang belum diurai. Seperti pendidikan, keterampilan hingga perpektif perusahaan. 

Maka dari itu, tunanetra masih banyak berjualan kerupuk sedangkan yang tuli memilih buka salon. Mereka menekuni bekerja di sektor informal hanya semata untuk berkreasi sendiri. 

"Daripada orang disabilitas susah cari kerja, mereka lebih bagus kreasi sendiri," ujarnya.  

Perlu Perjanjian Kerja 

Semakin meluasnya praktik sistem kerja kontrak dan keengganan industri mengurangi ketergantungan pada staf kontrak lainnya mengancam posisi tawar dan kesejahteraan pekerja. 

Bahkan, pekerja cenderung tidak memperoleh hak-haknya sebagai buruh. 

Maka dari itu, perjanjian kerja harus disepekati bersama antara karyawan dan perusahaan atau pemberi kerja.

Perjanjian kerja memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 

"Jadi sebelum meneken perjanjian kerja, karyawan harus memperhatikan betul kontrak kerjanya. Apa yang menjadi hak, dan kewajiban buruh. Banyak kejadian di lapangan banyak buruh tidak mengetahui apa aja haknya," ujar Edukator dan Penulis, Nurul Nayla Azmi Dalimunthe saat berbincang di podcast Perempuan Hari Ini Bersama Tribun-Medan.com belum lama ini. 

Nayla menuturkan, tidak sedikit kejadian, buruh yang hendak izin cuti saja ketakutan. Bahkan, perusahaan mempertanyakan izin cuti dari buruh. 

Padahal cuti adalah hak yang tidak perlu dipertanyakan dan ditakuti. 

"Kalau sudah tertulis hak dan kewajiban bisa lebih aman dalam bekerja," katanya. 

Tidak hanya itu, ia menyebutkan perlindungan para pekerja khususnya perempuan dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dinilai mendesak. 

Apalagi, tidak sedikit perempuan pekerja sudah menjadi korban kekerasan fisik, verbal hingga seksual. 

Baginya, ruang aman pada lingkungan kerja adalah setiap orang dengan ragam gender merasa nyaman dalam bekerja. Artinya, tidak ada normalisasi candaan seksis yang merendahkan perempuan. 

"Misalnya dalam sebuah pabrik didominasi laki-laki suka terjadi kekerasan seksual yang dinormalisasi. Banyak yang tidak paham sebelum terjadi ruda paksa, sebelum disentuh, tidak ada yang luka belum kekerasan seksual. Bahkan, candaan seksis dinormalisasikan," ujarnya saat podcast bersama Tribun-Medan.com belum lama ini. 

Selain itu, kata dia, tidak sedikit karyawan yang dilecehkan secara verbal mendapat diskriminasi.  

"Kita harus benar-benar sepakat tidak ada gender apapun melakukan kekerasan terhadap gender lainnya," ungkapnya. 

Sedangkan, Pardiansyah dari Kumpulan Orang-orang Sehati (KOOS) Medan membeberkan banyak kasus perusahaan melakukan pemeriksaan darah atau Kesehatan untuk mengetahui HIV atau bukan. 

Tapi, perusahaan terkadang tidak secara terbuka mengumumkan pemeriksaan darah yang dilakukan adalah tes HIV. 

"Dikhawatirkan hasilnya positif, perusahaan akan tahu juga. Berbincara hasil privasi, hanya orang tersebut yang terima hasilnya," ujarnya. 

Selain itu, tidak sedikit karyawan saat terjadi pemeriksaan HIV sudah minder duluan. 

"Berasumsi aku tidak layak masuk, ketika sudah melakukan pengobatan sudah tidak menularkan kepada pasangan. Tetapi, dengan konsisten dan patuh minum obat," katanya. 

Tidak hanya itu, banyak orang ODHIV terpaksa keluar dari tempat kerjanya. Sebab, mendapat deskriminasi. Padahal harusnya ada jaminan perusahaan untuk melindungi ODHIV

"Jadi orang-orang ODHIV dianggap tidak produktif. Banyak teman-teman HIV bisa menularkan ke orang lain. Padahal, proses penularannya tidak mudah. Kalaupun ada karyawan positif, harusnya perusahaan melakukan support sistem agar bisa menjadi berdaya bukan memberitahu kepada karyawan lain," ujarnya. 

Baca juga: Kahiyang Ayu Apresiasi APPMI Sumut Aktif Laksanakan Fashion Show: Mari Promosikan Pariwisata

 

Buruh, Hari Libur dan Solidaritas

Stigma terhadap buruh tak sekadar politik tetapi juga kultural sehinga memarginalkan gerakannya. Stigma yang dikenakan pada buruh era Orde Baru cukup efektif untuk meredam gejolak politik yang melekat pada Gerakan Buruh. 

Perpektif itulah kemudian tidak merasa semua orang yang masih terima gaji adalah buruh. Status buruh hanya disematkan pada karyawan pabrik dan pekerja kasar. 

"Solidaritas buruh masih belum kuat, karena ada yang merasa karyawan, ada merasa GM," ujar Marilyn Lie, dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia saat podcast Perempuan Hari Ini bersama Tribun-Medan belum lama ini. 

Ia menyebutkan, seluruh pihak harus mendefinisikan ulang arti buruh. Sebab, banyak buruh yang merasa bukan berstatus buruh. 

Akan tetapi, gerakan buruh semakin elegan karena tidak lagi dipandang sebagai pembuat onar atau kerusuhan. 

"Dulu saat May Day tidak libur, anak-anak mau sekolah susah sekali. Harus naik pikap dijemput dari sekolah ke rumah dan sebaliknya, karena begitu buruh demo selalu terjadi anarkis dan kadang-kadang dianggap buat masalah. Tapi sekarang agak elegan, kendati solidaritasnya belum," katanya. 

(tio/tribun-medan.com)

 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved