KPK Geledah Kantor PUPR Sumut

GERAK Cepat KPK Usai OTT, Geledah Kantor Dinas PUPR Sumut dan Rumah Tempat Kumpul Para Bos

Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gerak cepat mengembangkan kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Sumatra Utara (Sumut).

Penulis: Anisa Rahmadani | Editor: Juang Naibaho
TRIBUN MEDAN/ANISA
KPK GELEDAH RUMAH - Sejumlah mobil KPK yang terparkir di salah satu rumah di Jalan Busi, Kota Medan, Selasa (1/7/2025). Rumah ini jadi lokasi penggeledahan kedua KPK terkait kasus OTT Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Ginting. 

TRIBUN-MEDAN.com - Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gerak cepat mengembangkan kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Sumatra Utara (Sumut).

Usai operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis (26/6/2025) malam, dan menetapkan lima tersangka pada Sabtu (28/6/2025), tim KPK kembali ke Sumut untuk mencari barang bukti.

Adapun tiga tersangka dari penyelenggara negara adalah Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting, Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rasuli Efendi Siregar, dan PPK Satker PJN Wilayah I Provinsi Sumut Heliyanto.

Sedangkan dari pihak swasta merupakan bapak-anak, yakni Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group (DNG) Akhirun Efendi Siregar, dan anaknya M Rayhan Dulasmi Piliang yang menjabat sebagai Direktur PT RN. 

Baca juga: OTT KPK Kuak Trik Topan Ginting Dkk Atur Proyek Dinas PUPR Sumut, Pura-pura Dikasih Jeda Seminggu

Tim penyidik komisi antirasuah, sejak Selasa (1/7/2025) siang hingga malam hari, sudah melakukan penggeledahan di dua lokasi, yakni kantor PUPR Sumut di Jalan Sakti Lubis dan sebuah rumah di Jalan Busi.

Di kantor PUPR Sumut, penyidik KPK melakukan penggeledahan dan meminta keterangan dari sejumlah pegawai dan staf.

Penggeledahan berlangsung selama 5,5 jam, mulai pukul 13.00 hingga 18.30 WIB.

Pantauan Tribunmedan.com, pemeriksaan tersebut selesai pada pukul 18.30 WIB.

Namun, belum diketahui barang bukti apa yang disita KPK.

Sambil membawa koper, tim KPK memilih untuk lewat dari jalur belakang dan melarang awak media mendekat.

Rumah di Jalan Busi Tempat Nongkrong Para Bos

Setelah meninggalkan area kantor PUPR Sumut, tim komisi antirasuah langsung melakukan penggeledahan di sebuah rumah di Jl Busi, tak jauh dari kantor Dinas PUPR Sumut.

Rumah ini disebut-sebut sebagai kantor sementara Topan Ginting, sebab kantor utama Dinas PUPR sedang tahap renovasi. 

Pantauan Tribun, ada tiga mobil KPK dan satu mobil polisi yang mendatangi rumah tersebut.

Kemudian, lima orang menggunakan rompi KPK keluar dari mobil dan langsung masuk ke rumah tersebut. 

Baca juga: Ada Uang Pelicin Rp 46 Miliar, Kadis PUPR Sumut Topan Ginting Langsung Tunjuk Pemenang Proyek Jalan

Pada hari di mana Topan Ginting dibawa ke Jakarta, Sabtu (28/6/2025), Tribun Medan sempat mendatangi rumah di Jalan Busi tersebut.

Saat itu, seorang pria yang keluar dari dalam rumah mengatakan, bahwa rumah tersebut bukanlah sebuah kantor, melainkan tempat tinggal pribadi.

"Ini bukan kantor, tetapi rumah pribadi," ucapnya kala itu. Namun, kini KPK mendatangi rumah tersebut dan melakukan penggeledahan.

Seorang warga sekitar Titus Ginting mengatakan, awalnya rumah ini merupakan tempat latihan satpam.

Namun selang beberapa lama, kata Titus, rumah ini menjadi tempat perkumpulan para bos. 

"Masyarakat tahunya lokasi ini tempat latihan satpam, habis itu katanya tempat perkumpulan bos-bos," ucapnya saat diwawancara tribunmedan.com, Selasa (1/7/2025).

Setahu Titus, rumah tersebut adalah milik PUPR Sumut. Ia juga tak mengerti kenapa rumah tersebut kini disebut tempat berkumpulnya para bos-bos.

OTT dan Lima Tersangka

Sebelumnya, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, OTT yang dilakukan KPK di Sumut terkait dugaan suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satker PJN Wilayah 1 Sumut.

Kongkalikong proyek pembangunan jalan di kedua instansi itu mencapai Rp 231,8 miliar.

Sedangkan uang pelicin yang disiapkan kontraktor, Akhirun dan Rayhan untuk mendapatkan proyek itu diperkirakan Rp 46 miliar. Perhitungan itu diperoleh dari perjanjian komitmen fee sebesar 10-20 persen.

“Ada sekitar Rp 46 miliar yang akan digunakan untuk menyuap (tapi belum diberikan),” kata Asep Guntur, Sabtu (28/6/2025).

Asep menjelaskan, ada perjanjian komitmen fee dalam proyek tersebut. Akhirun dan Rayhan yang telah didapuk sebagai pemenang proyek menjanjikan Rp 46 miliar kepada ketiga tersangka. Beruntung, permufakatan jahat itu bisa dicegah KPK melalu OTT.

“Kalau dibiarkan pihak-pihak ini mendapatkan proyek, ini tentu hasil pekerjaan tidak akan maksimal. Karena, sebagian dari uang itu akan digunakan untuk menyuap, memperoleh pekerjaan tersebut,” jelasnya.

Dalam kasus ini, penyidik menyita barang bukti berupa uang senilai Rp 231 juta dari kediaman salah satu tersangka.

Uang tersebut diduga sisa dari praktik suap yang telah dilakukan oleh para tersangka. 

Terkait dugaan adanya pihak lain yang terlibat dalam kongkalikong proyek ini, Asep menegaskan, penyidik akan mendalami hal tersebut.

Menurut Asep, KPK akan menggunakan metode follow the money dalam kasus ini. Artinya, KPK akan menggandeng PPATK untuk menelusuri pergerakan aliran uang dari para tersangka.

"Kalau nanti ke siapa pun, ke atasannya atau mungkin ke sesama kepala dinas, ke mana pun itu dan kami memang meyakini (pasti ditindak). Kami tadi juga sudah sampaikan bahwa kita bekerja sama dengan PPATK untuk melihat ke mana saja uang itu bergerak," kata Asep.

"Nah, selanjutnya kita tentu akan panggil, akan kita minta keterangan, apa dan bagaimana sehingga uang itu bisa sampai kepada yang bersangkutan. Ditunggu saja ya,” imbuhnya.

Awal Terendus
Asep menjelaskan, kasus kongkalikong proyek jalan ini berawal dari pengaduan masyarakat tentang buruknya infrastruktur di Sumut.

Setelah melakukan pendalaman, KPK menemukan fakta adanya penarikan uang sekitar Rp 2 miliar oleh Akhirun dan Rayhan. 

Uang tersebut rencananya akan dibagikan ke beberapa pihak, termasuk tiga tersangka yakni Topan, Rasuli, dan Haliyanto, agar Akhirun dan Rayhan memperoleh proyek pembangunan jalan.

Berdasarkan informasi itu, KPK melakukan penelusuran lebih mendalam hingga akhirnya diketahui adanya dua klaster dalam kongkalikong proyek pembangunan jalan di Sumut.

Klaster pertama adalah proyek di Dinas PUPR Sumut, yakni:
pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labusel senilai Rp 96 miliar, dan pembangunan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp 61,8 miliar.

Sedangkan klaster kedua merupakan proyek di Satker PJN Wilayah I Sumut, yakni preservasi jalan Simpang Kota Pinang–Gunung Tua–Simpang Pal XI tahun 2023 senilai Rp 56,5 miliar, proyek serupa untuk tahun 2024 senilai Rp 17,5 miliar, serta rehabilitasi dan penanganan longsoran di ruas jalan yang sama untuk tahun 2025.

Asep mengungkapkan, kongkalikong proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut mulai terkuak pada 22 April lalu. 

Saat itu, Akhirun bersama Topan Ginting dan Rasuli Efendi melakukan survey offroad di daerah Desa Sipiongot. Survey ini untuk meninjau lokasi proyek pembangunan jalan.

Pada kesempatan itu, Topan memerintahkan Rasuli untuk menunjuk Akhirun sebagai rekanan.

Proyek yang diberikan adalah pembangunan jalan Sipiongot-Batas Labusel, dan proyek pembangunan jalan Hutaimbaru-Sipiongot. Kedua proyek tersebut sebesar Rp 157,8 miliar.

Beberapa waktu berselang, Akhirun dihubungi oleh Rasuli yang memberitahukan bahwa pada Juni 2025 akan tayang proyek pembangunan jalan Sipiongot-Batas Labusel. Ia pun meminta Akhirun untuk memasukkan penawaran.

Akhirun kemudian memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi dengan Rasuli dan staf UPTD guna mengurus proses e-catalog.

"Selanjutnya KIR (Akhirun) bersama-sama RES (Rasuli) dan staf UPTD mengatur proses e-catalog sehingga PT DGN bisa menang proyek pembangunan jalan Sipiongot-Batas Labusel," ujar Asep. 

Namun, saat itu cuma satu proyek yang ditayangkan. Sedangkan satu proyek lagi sengaja diberi jeda satu minggu.

Hal ini merupakan trik dari para tersangka untuk menutupi kongkalikong dalam proyek tersebut. 

"Proyek lainnya disarankan agar penayangan paketnya diberi jeda seminggu supaya tidak terlalu mencolok," kata Asep.

Untuk memuluskan rencana kongkalikong itu, Akhirun dan Rayhan memberikan uang kepada Rasuli melalui transfer rekening.

"Selain itu diduga terdapat penerimaan lainnya oleh TOP (Topan) dari KIR (Akhirun) dan RAY (Rayhan) melalui perantara," papar Asep.

Dalam kasus ini, Topan Ginting diduga akan menerima uang sebesar Rp 8 miliar dari upayanya menentukan pemenang lelang tersebut.

"Kepala Dinas akan diberikan sekitar 4-5 persen dari nilai proyek. Kalau dikira-kira ya dari Rp 231 (miliar), (Topan dapat) 8 miliar itu. Empat persennya kan sekitar Rp 8 miliaran ya itu," ungkap Asep.

Asep menuturkan uang sekitar Rp 8 miliar itu akan diberikan kepada Topan secara bertahap hingga proyek selesai dikerjakan oleh pihak Akhirun.

"Tapi nanti bertahap, setelah proyeknya selesai, karena pembayarannya pun termin gitu ya, ada termin pembayarannya," beber Asep.

Adapun konstruksi perkara terkait proyek pembangunan jalan di Satker PJN Wilayah 1 Sumut, juga tak jauh berbeda.

Heliyanto selaku PPK Satker PJN Wilayah I Sumut melakukan kongkalikong dengan Akhirun dan Rayhan.

Dia mengatur proses e-catalog sehingga dua perusahaan milik bapak dan anak itu terpilih sebagai pelaksana pekerjaan.

Asep mengatakan, Heliyanto telah menerima sejumlah uang dari Akhirun dan Rayhan sebesar Rp 120 juta dalam kurun Maret sampai Juni 2025.

"Kegiatan tangkap tangan ini sebagai pintu masuk, dan KPK masih akan terus menelusuri dan mendalami terkait proyek atau pengadaan barang dan jasa lainnya," kata Asep. (cr5/tribunmedan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved