Maqasid Kerukunan: Terjemahan Integritas Kemanusiaan

Maqashid kerukunan sedang diterjemahkan oleh Kementerian Agama dalam hal ini Menteri Agama KH Prof Nasaruddin Umar.

Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
FOTO BERSAMA - Menteri Agama RI KH Prof Nasaruddin Umar (tengah) berfoto bersama jajaran Kemenag RI dan jajaran UIN Sumatera Utara yang dipimpin Rektor UINSU Prof Nurhayati belum lama ini. 

Oleh:

Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Prof DR Nurhayati MAG 

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UINSU Prof DR Muhammad Syukri Albani Nasution MA

DALAM Dalam lanskap diskursif publik kontemporer, istilah “kerukunan” kerap hadir dalam formulasi yang bersifat normatif dan retoris—tercantum dalam dokumen resmi kenegaraan, dilafalkan dalam pidato-pidato simbolik, dan diajarkan dalam bingkai pedagogi moral formal.

Namun demikian, konsep keruku nan jarang dikaji secara mendalam sebagai kategori etis yang memiliki fondasi ontologis serta struktur epistemologis yang koheren. 

Padahal, dalam horizon filsafat sosial, kerukunan tidak semata-mata dipahami sebagai kondisi sosial yang diidealkan, melainkan sebagai prinsip moral yang menata ulang praksis hidup manusia dalam realitas plural yang inheren dalam eksistensinya sebagai makhluk sosial dan spiritual.

Islam, dalam warisan maqāṣid al-sharī‘ah-nya, menyediakan kerangka konseptual yang memadai untuk itu. Maqāṣid bukan hanya teori hukum, tetapi filsafat etik yang bertujuan mengaktualisasikan nilai-nilai dasar kemanusiaan melalui pendekatan berbasis maslahat.

Dalam perkembangan kontemporer, maqāṣid tidak lagi terbatas pada lima perlindungan klasik (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta), tetapi berkembang secara substantif menuju perlindungan terhadap komunitas (ḥifẓ al-ummah), lingkungan (ḥifẓ al-bī’ah), dan bahkan martabat spiritual manusia.

Dalam konteks inilah, konsep Trilogi Kerukunan Jilid II yang dikembangkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia menjadi penting untuk ditinjau sebagai bagian dari artikulasi kontemporer maqāṣid.

Trilogi ini tidak hanya memproyeksikan kerukunan sebagai strategi sosial-politik, tetapi memosisikannya sebagai etos integratif yang menyentuh tiga poros kehidupan manusia: relasi dengan sesama, relasi dengan alam, dan relasi dengan Tuhan.

Ketiga relasi ini tidak berjalan secara paralel atau sekuensial, melainkan membentuk satu jejaring etis yang koheren dan saling menopang.

Membaca kerukunan dalam perspektif maqāṣid seperti ini memungkinkan pemahaman yang lebih integral: bahwa relasi sosial tidak bisa dibangun tanpa keadilan ekologis, dan bahwa keduanya tidak dapat dipertahankan tanpa spiritualitas yang membumi. Inilah bentuk pembacaan maqāṣid yang melampaui hukum sebagai teks, tapi menuju ruang praksis dan pemaknaan hidup bersama.
 
Kerukunan Antarmanusia: Melampaui Toleransi
 
Dalam banyak wacana pluralisme keagamaan sering kali berpuncak pada anjuran untuk bersikap toleran.

Toleransi dikukuhkan sebagai standar etika minimum dalam kehidupan masyarakat plural, seolah-olah cukup untuk menjamin kohesi sosial yang sehat.

Namun secara filosofis dan politik, toleransi menyimpan persoalan mendasar. Ia tidak selalu mengandaikan kesetaraan substantif. Yang dominan menoleransi yang subordinat.

Toleransi sering hadir sebagai etika dari posisi kuasa—yakni saat pihak mayoritas bersedia memberi ruang bagi yang berbeda, sepanjang perbedaan itu tidak menantang stabilitas atau hegemoni nilai dominan.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved